Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja obligasi, nilai tukar rupiah, hingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih dalam tren koreksi saat ini. Sejumlah aset bisa menjadi pilihan agar tak kena imbas koreksi pasar.
Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan saat ini pasar modal global dan Indonesia tengah tertekan kondisi inflasi di Amerika yang belum turun sesuai harapan. Hal tersebut akibat masih kuatnya ekspansi sektor jasa seperti perhotelan, rekreasi, dan lainnya, yang membuat suku bunga Fed berpotensi naik hingga 5,75-6 persen.
"Ada kemungkinan penurunan ini berlangsung sepanjang kuartal I/2023. Kemudian, pada kuartal II/202 pasar baru akan melakukan konsolidasi bersiap menghadapi resesi Amerika di semester kedua 2023," jelasnya kepada Bisnis, Selasa (7/3/2023).
Dalam kondisi seperti ini, Lionel mengatakan aset seperti emas bisa menjadi pilihan safe-haven. Sementara itu, untuk pasar saham, strategi yang disarankan adalah berinvestasi di sektor-sektor yang diuntungkan akibat turunnya harga komoditas.
"Sektor-sektor itu salah satunya adalah semen dan besi baja. Adapun, untuk obligasi, kami melihat ada peluang masuk ke seri-seri yang menjadi acuan DJPPR karena harganya sudah mulai menarik," ungkapnya.
Untuk memaksimalkan kinerja portfolio, Lionel menyarankan pelaku pasar untuk mulai take profit dan fokus pada saham-saham yang membagi dividen. "Selain itu, saham-saham anti-komoditas dan emiten yang diuntungkan saat momen lebaran boleh menjadi perhatian," imbuhnya.
Baca Juga
Selain itu, strategi diversifikasi terbaik yang bisa dilakukan pelaku pasar saat ini adalah dengan mulai memperbanyak posisi cash untuk mengantisipasi jika pasar menuju titik terendahnya.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan inflasi AS masih belum terkendali lantaran hanya terjadi penurunan 0,1 persen. Hal ini lantas mengakibatkan suku bunga berpotensi naik lebih tinggi.
“Oleh sebab itu ada rasa khawatir adanya potensi kenaikkan tingkat suku bunga lebih tinggi,” ujar Nico kepada Bisnis, Selasa (7/3/2023). Selain itu, dia mengatakan Producer Price Index (PPI) atau indeks harga produsen AS yang masih bergerak positif menandakan tingkat inflasi akan tetap konsisten. Terlebih lagi masih ada potensi resesi dan perlambatan perekonomian global.
Dia menyebut IHSG yang sudah memasuki masa konsolidasi hingga lima pekan membutuhkan sebuah dorongan. Dari dalam negeri sentimen yang harus diperhatikan adalah cadangan devisa dan indeks keyakinan konsumen.
Sementara dari AS, beberapa data yang perlu diperhatikan adalah permintaan pabrik, perubahan data tingkat ketenaga kerjaan , dan inventori grosir yang diproyeksi menurun.
Kemudian beberapa data yang diproyeksi naik adalah data klaim pengangguran, dan klaim pengangguran berkelanjutan. Selain itu, beberapa data penting yang patut diperhatikan adalah permintaan barang tahan lama, neraca dagang , pengukuran lowongan pekerjaan, dan angka pengangguran.
“Diperkirakan rentang IHSG sekitar 6.785 sampai 6.875,” tuturnya.