Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Fintech Society (IFSoc) meminta agar Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau omnibus law keuangan dapat memperluas cakupan aset kripto.
Steering Committee IFSoc Tirta Segara mengatakan bahwa diperlukan kejelasan definisi dan pengaturan aset kripto yang sering menimbulkan permasalahan pada aspek perlindungan konsumen.
“Aset kripto ini perlu diperjelas karena sebetulnya definisi kalau hanya kripto terlalu sempit, sehingga kami menyarankan definisinya bisa diperluas menjadi aset digital,” kata Tirta dalam media briefing ‘RUU PPSK: Membangun Fondasi Kebijakan Fintech yang Sustainable’ secara daring, Kamis (27/10/2022).
Dia memandang agar RUU PPSK sebaiknya dapat memberikan batasan-batasan yang jelas antara aset digital yang dikategorikan dalam sektor keuangan dan non-keuangan.
Menurutnya, hal itu merupakan langkah yang penting untuk perlindungan konsumen, sebab maraknya pengaruh influencer yang membuat masyarakat ikut memiliki aset kripto, namun tidak paham terhadap produk yang dibeli.
Dia menilai nantinya produk digital yang canggih dan rumit itu hanya boleh dijual kepada orang-orang yang paham dengan produk tersebut, yang tingkat edukasinya tinggi. Ini untuk perlindungan konsumen.
"Jadi, jangan sampai orang membeli produk-produk digital yang sebetulnya rumit dan yang tidak dipahami karena pengaruh influencer yang kurang menjelaskan karakteristik dari aset digital, pengaturan-pengaturan itu nanti yang perlu dipertajam,” ungkapnya.
Merujuk data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau Bappebti (20222), Tirta menyampaikan bahwa nilai transaksi aset kripto telah mencapai Rp20 triliun pada Juni 2022.
Jika dilihat secara detil, nilai transaksi aset kripto mengalami fluktuasi terhitung sejak Januari sampai dengan Juni 2022. Perolehan nilai transaksi tertinggi terjadi pada Maret 2022 mencapai Rp46,4 triliun, sedangkan Juni menjadi periode dengan nilai transaksi terendah.
“Dalam mendefinisikan aset digital, dapat dipertimbangkan untuk melakukan pengkategorian dengan risk-based approach,” ujarnya.