Bisnis.com, JAKARTA - Para manajer investasi dinilai perlu bergerak lebih lincah agar aktivitas investasi di reksa dana tetap atraktif di tengah kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia membawa dampak berbeda terhadap dua aset dasar reksa dana yakni surat utang dan saham. Di pasar surat utang, imbal hasil SUN acuan tenor 10 tahun mencapai 7,7 persen atau mengalami penurunan harga sedangkan IHSG dibuka menguat ke 7.069.
Adapun, indeks reksa dana saham secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) menguat tipis 1,12 persen, reksa dana campuran 4,2 persen, reksa dana pendapatan tetap turun 1,22 persen, dan reksa dana pasar uang tumbuh 2,02 persen.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menerangkan kondisi suku bunga BI yang naik berdampak terhadap reksa dana pendapatan tetap.
Dengan demikian, reksa dana saham dan campuran yang lebih fleksibel cenderung menjadi pilihan investor. Namun, tetap saja saham pun tak lepas dari potensi tekanan.
"Hanya memang saat ini fund manager cukup aktif menyesuaikan portofolio dengan kondisi pasar dan tekanan pasar. Fund manager akan mengikuti dinamika pasar yang ada, dengan cara itu mereka akan mengoptimalkan kinerja portofolio mereka," jelasnya kepada Bisnis, Senin (24/10/2022).
Baca Juga
Menurutnya, keaktifan manajer investasi dalam menyesuaikan dinamika pasar menghasilkan kinerja reksa dana saham dan campuran yang masih positif secara tahun berjalan.
Dia juga menilai reksa dana pendapatan tetap juga masih dapat memanfaatkan momentum. Walaupun rata-rata pertumbuhan negatif reksa tetap secara umum akan tetap minus.
Alasannya, karena reksa dana ini berkaitan langsung dengan kondisi makro terutama dari sisi suku bunga acuan. Suku bunga acuan global, The Fed naik, dan masih cukup agresif naikan tahun ini, sehingga kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) juga bakal turut meningkat.
BI Rate sudah naik 100 basis poin tahun ini, sehingga diikuti naiknya yield obligasi negara dan korporasi. Alhasil kinerja reksa dana pendapatan tetap menjadi negatif. Padahal, pada kuartal I/2022 sebelum periode kenaikan suku bunga acuan terjadi, reksa dana pendapatan tetap masih tumbuh.
"Reksa dana pendapatan tetap tertekan, di pandemi saat yield kita cukup rendah, penguatan terjadi sehingga harganya naik, tahun ini tren turun harganya, masih akan sampai akhir tahun," terangnya.
Bagi para investor reksa dana lanjutnya, harus kembali melihat seberapa besar mampu menanggung risiko, baik risiko pasar maupun risiko produk.
"Secara umum itu jadi perhatian, kondisi makro, inflasi, suku bunga, perhatian reksa dana pendapatan tetap, sementara kinerja emiten juga seberapa sehat bisa bayar utang mereka menjadi acuan campuran dan saham," urainya..
Di sisi lain, potensi aksi window dressing emiten pada akhir tahun membuat para manajer investasi pun bakal aktif mempercantik portofolio terutama jenis produk reksa dana saham dan campuran.
Namun, Ramdhan menilai aksi window dressing tidak akan signifikan seperti yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Semua akan kembali kepada mekansime pasar.
"Kejadian window dressing ini beberapa tahun terakhir ini cukup memberi suatu yang kurang baik, kasus bermasalah kemarin Jiwasraya, karena mereka window dressing, kurang baik untuk keterbukaan pasar," tambahnya.