Bisnis.com, JAKARTA – Riset Media Partners Asia menyebutkan platform streaming Vidio milik Grup Emtek, PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA) menjadi layanan paling populer dalam hal konsumsi video premium di Indonesia. Vidio disebut berhasil mengalahkan raja streaming seperti Netflix dan Disney+ di pasar domestik.
Disney+ memang menjaring banyak pelanggan berkat kemitraan dengan Telkomsel, tapi aplikasi Vidio disebut memiliki 3,5 juta pelanggan, atau lebih banyak dari Disney+ di Indonesia.
Mengutip Bloomberg, Senin (3/10/2022), Vidio menjadi kisah sukses streaming lokal yang langka. Kasus Vidio bisa menjadi pelajaran bagi perusahaan media lokal lainnya di seluruh dunia.
Raksasa streaming dari AS mendominasi pasar video online di hampir setiap wilayah utama di luar China. Netflix melesat ke posisi terdepan di Brasil, Meksiko, Korea Selatan, Australia, dan sebagian besar Eropa Barat.
Sementara itu, Amazon adalah salah satu pemain terbesar di Jepang dan masuk juga ke wilayah Eropa. Adapun Disney+ adalah pemimpin di India
Upaya perusahaan lokal untuk menciptakan alternatif bagi para pemain asing ini sebagian besar telah gagal. Tetapi masih ada peluang di pasar, saat para pemain besar dari Barat belum menghabiskan banyak uang.
Baca Juga
Netflix dan rekan-rekannya dipandang belum melakukan investasi besar-besaran di Indonesia.
“Sebagian besar pesaing yang Anda sebutkan, setidaknya yang dari Barat, sebenarnya tidak menginvestasikan banyak uang di produk asli Indonesia,” kata Sutanto Hartono, CEO PT Suya Citra Media Tbk. (SCMA) yang mengendalikan Vidio.
Kue pasar video premium pun terbilang menjanjikan di pasar Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Media Partner Asia, layanan video premium hanya mengambil pasar 7 persen dari waktu yang dihabiskan konsumen Asia Tenggara di layanan streaming pada kuartal II/2022.
Di sisi lain, penggunaan layanan video-on-demand berlangganan melonjak, dan telah melampaui TV berbayar di pasar Asia Tenggara.
Hartono, yang sebelumnya pernah bekerja untuk Microsoft dan Sony Music di Asia Tenggara, mempekerjaan para insinyur untuk membuat Vidio, setelah upaya Grup Emtek yang gagal menghidupkan kembali Blackberry Messenger di Indonesia. Tapi Hartono tidak membuang waktu untuk mengambil kesempatan sebelum saingan Baratnya bisa mengejar.
Vidio mendanai hampir 40 seri original konten per tahun, dan juga telah mendapatkan hak untuk sebagian besar liga olahraga utama, termasuk Liga Premier Inggris dan National Basetball Association (NBA).
Vidio juga menawarkan layanannya dengan harga yang lebih tinggi daripada pesaingnya. Ada layanan gratis dan layanan dengan tiga tingkat berbayar yang berbeda. Layanan berbayar Vidio dikelompokkan berdasarkan perangkat dan pemrograman para pelanggan.
Penggemar olahraga harus membayar lebih, dibandingkan dengan pelanggan Vidio yang tidak berlanggan konten olahraga. Selain itu penggemar olahraga juga harus membayar lebih untuk menonton konten Vidio di perangkat selain ponsel.
Sebagai catatan, Netflix lebih kaku tentang harga langganan daripada kebanyakan rekan-rekannya. Itulah alasan besar mengapa layanan ini menghasilkan lebih banyak pendapatan di Indonesia dibanding kompetitor meskipun memiliki basis pengguna yang lebih kecil.
Ada prediksi Netflix atau Disney+ dapat menyalip Vidio, dengan catatan para raksasa ini bersedia menanam investasi yang besar di Indonesia. Namun, tentu ada tantangannya, yakni penyesuaian layanan ke Indonesia akan memakan waktu dan mahal dibandingkan dengan pengembalian investasi tersebut.
Sebagian besar streaming AS memutuskan untuk diam dan berharap katalog konten-konten mereka dari belahan dunia lain akan membantu perusahaan mendapatkan cukup banyak pelanggan di negara luar AS, termasuk Indonesia.
Strategi tersebut dinilai tidak akan lepas landas di Indonesia, atau lusinan pasar lain di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika. Dan di situlah letak peluang bagi pemain lokal dengan sumber daya mumpuni mendapatkan peluang keuntungan.