Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tips Investasi hingga Akhir 2022: Pilih Saham atau Obligasi?

Saham diperkirakan akan jadi instrumen investasi yang lebih menarik ketimbang obligasi di pengujung 2022. Mengapa?
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (26/7/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (26/7/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja instrumen investasi saham diperkirakan para pakar bakal lebih baik dibandingkan pasar obligasi pada sisa kuartal IV/2022. Sebab, IHSG diperkirakan akan lebih tahan banting menghadapi sejumlah sentimen negatif yang sudah menanti di depan mata.

Secara tahun berjalan, kinerja pasar saham yang direpresentasikan oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tumbuh 6,98 persen, sedangkan indeks komposit obligasi tumbuh negatif 0,01 persen.

Investment Analyst Stockbit Hendriko Gani mengamini bahwa sampai akhir tahun ini, saham akan lebih atraktif ketimbang obilgasi. Alasannya, potensi peningkatan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) berpotensi menurunkan harga obligasi.

"Sementara itu, dari sisi ekonomi, ekonomi Indonesia masih terbilang cukup bagus dibandingkan dengan negara lainnya, sehingga masih ada potensi bagi saham untuk tumbuh di kuartal IV/2022 nanti," jelasnya kepada Bisnis, Minggu (2/10/2022).

Menurutnya, seandainya terjadi pelemahan akibat dolar AS yang terus menguat, saham masih lebih mampu bertahan dibandingkan dengan obligasi.

Sementara itu, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama menerangkan pelemahan obligasi secara tahun berjalan tidak hanya terjadi di pasar obligasi dalam negeri.

Kinerja obligasi di negara lain juga cenderung turun, seiring dengan kebijakan hawkish The Fed yang menyebabkan arus modal ke luar terutama dari negara-negara emerging.

"Di sisi lain pelaku pasar juga mencerna faktor peningkatan suku bunga bank sentral, sehingga wajar melihat terjadi volatilitas yang berarti terjadi pula dalam global financial index," tuturnya.

Selain itu, inflasi di luar negeri, krisis energi, pangan juga terjadi secara global. Hal ini memengaruhi dan membuat distrupsi rantai pasok global.

Sementara itu, pasar saham Indonesia mengalami apresiasi dibandingkan dengan negara Asia anggota G20 dan menjadi yang satu-satunya positif.

"Jepang, China, India, Australia, itu kinerja tahun berjalannya minus. Kalau Indonesia positif karena mendapatkan keuntungan dari windfall profit commodity boom price, jadi capital inflow masih masuk. Selain itu, indikator ekonomi juga solid," tuturnya.

Di tengah tren arus modal keluar, pasar saham Indonesia, lanjutnya, menjadi anomali seiring peningkatan kinerja laba bersih ribuan persen emiten terkait komoditas.

Senada dengan Hendriko, Nafan menilai pasar saham Indonesia masih lebih unggul bahkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan obligasi.

"Obligasi yang penting SBN tenor 10 tahun itu masih tidak terlalu mengalami kenaikan yield signifikan. Cenderung stabil, faktor kondisi pasar obligasi, di Indonesia masih mendapatkan status stabil dari beberapa lembaga penilaian."

Investor asing juga masih akan melepas kepemilikan obligasi dalam negeri seperti SBN seiring naiknya suku bunga The Fed yang membuat dolar kembali menjadi mata uang safe haven.

Menurut Nafan, pada kuartal IV/2022, tantangan masih akan hadir dari peningkatan suku bunga The Fed yang diekspektasi naik 75 basis poin pada November 2022 dan kenaikan antara 50 hingga 70 basis poin pada Desember 2022.

Sentimen ini akan otomatis berdampak terhadpa volatilitas pasar keuangan global. Sementara itu, kinerja cadangan devisa Indoneisa juga masih mampu menahan volatilitas tersebut.

"Kenaikan volatilitas market capital inflow turun, dollar index menguat, emerging market ditinggalkan," tuturnya.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga bakal melakukan penyesuaian suku bunga acuan dengan ekspektasi naik 50 basis poin dalam waktu dekat dan pada November 25 basis poin. Mirae Asset memproyeksikan suku bunga BI pada akhir tahun mencapai 5 persen.

Sementara itu, pasar modal Indonesia masih dapat bertahan menghadapi tekanan tersebut seiring dengan kebutuhan komoditas semakin tinggi pada akhir tahun. Alasannya, Eropa memasuki musim dingin, sementara krisis energi masih terjadi, sehingga kebutuhan komoditas batu bara sebagai energi murah meningkat.

"Akan jadi pertimbangan yakni kebijakan BI oleh pelaku pasar, momentum pemulihan ekonomi masih berlanjut. Di sini ditekankan BI cegah outflow tanah air, dan stabilkan nilai tukar rupiah, sudah di level Rp15.000 per dolar AS," pungkas Nafan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper