Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga pemeringkat Moody's mengubah proyeksinya untuk industri logam dan pertambangan global dari stabil menjadi negatif. Hal ini menyusul adanya perlambatan ekonomi global yang terus menekan permintaan.
Penurunan ini disinyalir mempengaruhi harga yang mengakibatkan penurunan profitabilitas bagi perusahaan yang diapresiasi oleh Moody's selama 12 bulan mendatang.
"[EBITDA dan harga] akan tetap lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelum pandemi tetapi di bawah level rekor tertinggi yang terlihat pada awal 2022," kata Senior Wakil Presiden Moody's Barbara Mattos dikutip dari Mining.com pada Senin (26/9/2022).
Meski demikian, pakar riset keuangan Moody menilai EBITDA untuk produsen logam dasar, termasuk tembaga, nikel, aluminium dan seng akan turun secara signifikan.
Moody’s memproyeksikan perusahaan tambang tembaga akan mengalami penurunan EBITDA lantaran volume produksinya lebih rendah pada wilayah tertentu. Selain itu biaya input yang lebih tinggi dan harga yang lebih rendah juga menjadi faktor lainnya.
Adapun tingkat persediaan yang rendah dan tantangan pasokan di wilayah penghasil tembaga utama seperti Chile dan Peru akan membatasi penurunan harga tembaga.
Baca Juga
Adanya perubahan proyeksi dari Moody’s diperkirakan membuat produsen aluminium menjadi paling terdampak. Hal ini lantaran harga aluminium turun drastis dari rekor tertinggi baru-baru ini, sedangkan biaya energi dan bahan baku utama terutama di Eropa tetap tinggi.
Faktor-faktor tersebut lah yang dinilai akan mengurangi margin dan pendapatan perusahaan.
Sementara komoditas emas yang selama ini dilihat sebagai pelindung dari inflasi, diperkirakan akan menurun bersamaan dengan logam perak akibat suku bunga yang tinggi dan menguatnya dollar Amerika Serikat.
Berbeda dengan logam lain, sentimen pasar daripada fundamental seperti penawaran dan permintaan mempengaruhi harga industri tambang emas. Hal ini lantas akan berdampak negatif terhadap EBITDA penambang logam mulia.