Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Komisi VI DPR Kritisi BUMN yang Minta Modal Negara Rp67,82 Triliun

Anggota Komisi VI DPR Fraksi Demokrat Rudi Hartono Bangun menilai permintaan PMN PLN hingga Rp10 triliun tidak layak. Alasannya, PLN memproduksi surplus energi.
Menteri BUMN Erick Thohir (dari kiri) didampingi Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wiroatmojo dan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (2/12/2019). Bisnis/Arief Hermawan P
Menteri BUMN Erick Thohir (dari kiri) didampingi Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wiroatmojo dan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (2/12/2019). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah anggota Komisi VI DPR mengkritisi permintaan penyertaan modal negara (PMN) mencapai Rp67,82 triliun. Beberapa BUMN dinilai tidak layak mendapatkan suntikan modal negara.

Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Nevi Zuairina menilai selain permintaan penyertaan modal negara (PMN), Kementerian BUMN wajib memperhatikan agar BUMN yang telah diberikan PMN tidak meminta lagi.

"Kementerian BUMN harus mempersiapkan BUMN tidak menerima PMN lagi, sehingga menjadi usaha yang memberikan manfaat penuh bagi negara," jelasnya dalam rapat kerja di Komisi VI DPR, Kamis (8/9/2022).

Selain Nevi, Anggota Komisi VI DPR Fraksi Demokrat Rudi Hartono Bangun menilai permintaan PMN PLN senilai Rp10 triliun tidak layak. Alasannya, PLN memproduksi surplus energi yang seharusnya dapat dimanfaatkannya.

"Di dalam PLN ada satu masalah surplus energi, kapasitas terpasang di PLN sekarang 350 gigawatt per jam, konsumsi hanya 257 GWH, artinya surplus 26 persen," paparnya.

Menurutnya, ketika dikonversikan dan dihitung surplus energi tersebut senilai Rp123 triliun di dalam PLN. Dengan demikian, dia mempertanyakan aset surplus energi tersebut memiliki nilai fantastis tetapi masih meminta Rp10 triliun.

"Apakah Dirut dan jajaran ini tidak bisa mengoptimalkan menjual ke manufaktur industri. Saya lihat belum layak, dikaji benar-benar Rp10 triliun, dia punya Rp123 triliun, suruh jualan dia, saya pernah usul jual kompor, kasih setiap penduduk kompor listrik, terserap itu," terangnya.

Selain itu, dia menilai PMN terhadap holding IDFOOD senilai Rp2 triliun, padahal BUMN tersebut memiliki bisnis yang kecil. Usulan PMN ke DAMRI sebesar Rp0,87 triliun juga dinilainya perlu dikaji kembali kelayakannya.

Anggota Komisi VI DPR Fraksi Gerindra Hendrik Lewerissa menilai tidak seluruh BUMN yang meminta PMN layak diberikan suntikan pemerintah tersebut.

"Khusus Indonesia Reasuransi, saya ada satu catatan penambahan modal negara sebesar Rp3 triliun kepada korporasi tersebut, yang saya tahu kendala yang timbul dari regulasi dari OJK menghambat industri Reasuransi ini. Jadi kalau berupaya meningkatkan kesehatan dan mendapatkan rating internasional, serta penguatan kapasitas reasuransi maka identifikasi dari regulasi harus dibenahi," katanya.

Anggota Komisi VI DPR Fraksi Gerindra La Tinro La Tunrung juga mengkritisi pemberian PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero). Menurutnya, pemberian Rp4,1 triliun untuk pembengkakan biaya KCJB agar tidak terjadi penambahan.

"Dari laporan BPK, kami ketahui dana Rp6,9 triliun itu diperuntukan base equity proyek Rp4,3 triliun dan Rp2,6 triliun cost overrun, ini perlu diawasi ketat jangan sampai cost overrun naik terus dan akhirnya membebani APBN kita," terangnya.

Erick menjelaskan sesuai dengan usulan awal yang dilaporkan ke Komisi VI DPR, rencana PMN 2023 ditetapkan sebesar Rp 67,82 triliun. Namun, persetujuan yang didapat pada Nota Keuangan 2023 tercatat sebesar Rp41,31 triliun.

Dia melanjutkan, Kementerian BUMN tengah mendorong dan mencari jalan keluar untuk menutupi celah tersebut. Erick menuturkan, pihaknya juga memiliki cadangan investasi yang akan diberikan senilai Rp 5,7 triliun.

“Jadi totalnya menjadi Rp47 triliun. Rp 5,7 triliun ini kami belum mendapatkan detail penggunaannya untuk apa saja, tetapi bisa juga untuk keperluan tadi," kata Erick dalam rapat kerja tersebut.

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper