Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah anggota Komisi VI DPR mengkritisi permintaan penyertaan modal negara (PMN) mencapai Rp67,82 triliun. Beberapa BUMN dinilai tidak layak mendapatkan suntikan modal negara.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Nevi Zuairina menilai selain permintaan penyertaan modal negara (PMN), Kementerian BUMN wajib memperhatikan agar BUMN yang telah diberikan PMN tidak meminta lagi.
"Kementerian BUMN harus mempersiapkan BUMN tidak menerima PMN lagi, sehingga menjadi usaha yang memberikan manfaat penuh bagi negara," jelasnya dalam rapat kerja di Komisi VI DPR, Kamis (8/9/2022).
Selain Nevi, Anggota Komisi VI DPR Fraksi Demokrat Rudi Hartono Bangun menilai permintaan PMN PLN senilai Rp10 triliun tidak layak. Alasannya, PLN memproduksi surplus energi yang seharusnya dapat dimanfaatkannya.
"Di dalam PLN ada satu masalah surplus energi, kapasitas terpasang di PLN sekarang 350 gigawatt per jam, konsumsi hanya 257 GWH, artinya surplus 26 persen," paparnya.
Menurutnya, ketika dikonversikan dan dihitung surplus energi tersebut senilai Rp123 triliun di dalam PLN. Dengan demikian, dia mempertanyakan aset surplus energi tersebut memiliki nilai fantastis tetapi masih meminta Rp10 triliun.
Baca Juga
"Apakah Dirut dan jajaran ini tidak bisa mengoptimalkan menjual ke manufaktur industri. Saya lihat belum layak, dikaji benar-benar Rp10 triliun, dia punya Rp123 triliun, suruh jualan dia, saya pernah usul jual kompor, kasih setiap penduduk kompor listrik, terserap itu," terangnya.
Selain itu, dia menilai PMN terhadap holding IDFOOD senilai Rp2 triliun, padahal BUMN tersebut memiliki bisnis yang kecil. Usulan PMN ke DAMRI sebesar Rp0,87 triliun juga dinilainya perlu dikaji kembali kelayakannya.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi Gerindra Hendrik Lewerissa menilai tidak seluruh BUMN yang meminta PMN layak diberikan suntikan pemerintah tersebut.
"Khusus Indonesia Reasuransi, saya ada satu catatan penambahan modal negara sebesar Rp3 triliun kepada korporasi tersebut, yang saya tahu kendala yang timbul dari regulasi dari OJK menghambat industri Reasuransi ini. Jadi kalau berupaya meningkatkan kesehatan dan mendapatkan rating internasional, serta penguatan kapasitas reasuransi maka identifikasi dari regulasi harus dibenahi," katanya.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi Gerindra La Tinro La Tunrung juga mengkritisi pemberian PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero). Menurutnya, pemberian Rp4,1 triliun untuk pembengkakan biaya KCJB agar tidak terjadi penambahan.
"Dari laporan BPK, kami ketahui dana Rp6,9 triliun itu diperuntukan base equity proyek Rp4,3 triliun dan Rp2,6 triliun cost overrun, ini perlu diawasi ketat jangan sampai cost overrun naik terus dan akhirnya membebani APBN kita," terangnya.
Erick menjelaskan sesuai dengan usulan awal yang dilaporkan ke Komisi VI DPR, rencana PMN 2023 ditetapkan sebesar Rp 67,82 triliun. Namun, persetujuan yang didapat pada Nota Keuangan 2023 tercatat sebesar Rp41,31 triliun.
Dia melanjutkan, Kementerian BUMN tengah mendorong dan mencari jalan keluar untuk menutupi celah tersebut. Erick menuturkan, pihaknya juga memiliki cadangan investasi yang akan diberikan senilai Rp 5,7 triliun.
“Jadi totalnya menjadi Rp47 triliun. Rp 5,7 triliun ini kami belum mendapatkan detail penggunaannya untuk apa saja, tetapi bisa juga untuk keperluan tadi," kata Erick dalam rapat kerja tersebut.