Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan Manajer Investasi (MI) terus memutar otak untuk menjaga kinerja produk – produk reksa dana berbasis obligasinya.
Chief Investment Officer STAR AM Susanto Chandra mengatakan dalam pengelolaan reksa dana berbasis obligasi, pihaknya cenderung lebih memilih investasi pada obligasi korporasi dengan tenor pendek. Hal tersebut mengingat tingkat volatilitas obligasi tenor pendek yang cenderung lebih rendah.
Selain itu, STAR AM juga memperhatikan adalah kualitas dari korporasi yang dipilih sebelum memasukkannya ke dalam portofolio. Dia mengatakan, hal ini dilakukan dengan mengkaji kemampuan bayar sebuah korporasi.
“Kajian ini agar ke depannya kami terhindar dari risiko gagal bayar,” jelasnya saat dihubungi, Senin (25/7/2022).
Susanto melanjutkan, berkurangnya kepemilikan asing pada pasar SBN Indonesia dapat memperbaiki kondisi pasar surat utang pemerintah Indonesia. Namun, menurutnya hal tersebut perlu dibarengi dengan terkendalinya laju inflasi global dan di Indonesia.
“Apabila tekanan tersebut masih relatif tinggi, maka gejolak pasar SBN juga berpotensi berlanjut,” tambahnya.
Baca Juga
Adapun, untuk memimalisir volatilitas pasar, Susanto mengatakan investor ritel masih dapat masuk pada instrumen pasar utang. Dia menyarankan investor ritel untuk masuk ke instrumen dengan tenor pendek, di bawah 3 tahun.
Sementara itu, untuk dana dengan horizon investasi jangka pendek, para investor dapat menempatkannya pada instrumen pasar uang.
Secara terpisah, Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Syuhada Arief mengatakan ada sejumlah risiko yang membayangi pergerakan pasar obligasi.
Dari sisi eksternal, perkembangan konflik geopolitik dan lonjakan kasus Covid China menjadi risiko utama yang perlu dicermati karena memiliki dampak yang siginifikan pada tekanan inflasi. Dia mengatakan, hal ini dapat mempengaruhi laju perubahan kebijakan moneter, dan pembelian aset.
Sementara, dari sisi internal perkembangan harga minyak dunia, dan komoditas utama ekspor memberikan dampak yang besar terhadap beban subsidi energi, dan nilai tukar rupiah. Selain itu, laju pertumbuhan kredit menjadi salah satu faktor yang perlu dicermati mengingat selama ini bank menjadi pembeli mayoritas SBN.
“Kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap juga harus dicermati efeknya dalam mengurangi likuiditasi di pasar,” katanya.
Oleh karena itu, MAMI melakukan pengelolaan portofolio berdasarkan dua pendekatan. Pertama, pendekatan top-down yang dilakukan dengan analisa makro ekonomi global dan domestik. Kedua, kekuatan analisa bottom-up yaitu pemilihan Efek berdasarkan fundamental yang solid untuk pembentukan portofolio yang optimal.
“Dalam hal ini selain didukung tim investasi yang berpengalaman di pasar domestik, kami juga didukung jaringan global Manulife Investment Management yang memiliki tim investasi on-the-ground yang dapat memberikan keunggulan informasi dan analisa yang terkini dan tajam,” katanya.
Dia melanjutkan, dengan volatilitas pasar yang tinggi, berbeda dengan strategi pada sebelumnya, MAMI tidak memfokuskan strategi pada overweight atau underweight duration terhadap durasi tolok ukur.
MAMI lebih fokus kepada relative valuation methodology. Pada strategi tersebut, MAMI fokus pada pemilihan seri obligasi atau alokasi sektor tenor pada kurva imbal hasil yang memberikan spread paling optimal relative dibandingkan spread imbal hasil pada seluruh sektor tenor yang lain.
“Kami juga terus mencermati likuiditas, dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terukur,” katanya.