Bisnis.com, JAKARTA — Sektor saham tambang metal khususnya nikel di Indonesia saat ini dinilai overweight menyusul beberapa faktor yang menjadi katalisnya.
Analis Mirae Asset Sekuritas Juan Harahap menjelaskan, ada tiga faktor yang mendorong sektor tambang logam overweight. Salah satunya, potensi permintaan yang kuat dari industri baja nirkarat.
“[Selain itu] risiko terbatas terkait pelemahan oleh resesi di AS dan potensi permintaan yang besar dari sektor electric vehicle atau EV,” paparnya dalam riset harian, Rabu (13/7/2022).
Juan meyakini, industri nikel akan terus bertumbuh positif di masa depan seiring dengan target pemerintah mengoperasikan 30 smelter nikel pada 2024 mendatang. Berdasarkan data tahun 2020, sudah 19 smelter yang saat ini beroperasi.
Produksi nikel pun diproyeksikan mencapai 2,6 juta ton di tahun ini, diperkirakan meningkat 12,5 persen secara tahunan. Produk nickel pig iron (NPI) dibidik meningkat 25 persen year-on-year (yoy).
Produksi nikel Indonesia khususnya NPI terbilang mencatatkan kinerja terbaik, bahkan lebih tinggi dari China.
Baca Juga
“Indonesia telah menyalip China untuk menjadi produsen NPI terbesar di dunia pada tahun 2020,” imbuh Juan.
Dari sisi harga nikel, Sektor Tambang Logam Overweight melakukan riset terkait resesi AS dengan harga nikel global.
Berdasarkan hasil riset tersebut, resesi di AS yang terjadi tahun 1990, 2000, 2008, dan 2020 telah menyebabkan harga nikel terus turun di rentang 7,4 persen hingga 67,4 persen. Rata-rata penurunan harga nikel sebesar 32,5 persen.
Penurunan harga nikel terbesar terjadi pada resesi tahun 2008. Lebih lanjut, harga nikel terpantau melemah 123,6 persen dari level tertingginya tahun ini.
“Pelemahan harga nikel dari potensi resesi AS sudah diperhitungkan. Industri nikel Indonesia berkembang pesat setelah pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel pertama pada tahun 2014,” tandasnya.
Pasar nikel global diperkirakan tetap defisit tahun ini dan menjadi surplus pada 2023 didukung pertumbuhan kapasitas yang kuat dari nikel kelas II di Indonesia.
“Namun, kami melihat pasar nikel global dapat kembali mengalami defisit pada tahun 2025, didorong oleh pertumbuhan permintaan yang kuat dari segmen baterai EV,” tutup Juan.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.