Bisnis.com, JAKARTA – Negara–negara di Asia Tenggara atau Asean mulai aktif menerbitkan obligasi berkelanjutan atau obligasi hijau seiring dengan upaya pengurangan emisi karbon pada kawasan tersebut.
Dilansir dari Nikkei Asia pada Sabtu (9/7/2022), sejumlah negara anggota Association of Southeast Asian Nations (Asean) telah menerbitkan obligasi hijau untuk mendanai proyek – proyek ramah lingkungan.
Menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) yang dirilis Juni lalu, total outstanding obligasi berkelanjutan di pasar Asia Tenggara dan Asia Timur mencapai US$478,7 miliar hingga akhir Maret lalu, naik 51,3 persen secara year on year.
Sementara, nilai outstanding obligasi hijau mencapai US$333,6 miliar pada akhir kuartal I/2022, atau 69,7 persen dari total obligasi berkelanjutan di wilayah tersebut.
Secara global, nilai outstanding obligasi berkelanjutan Asia Tenggara dan Asia Timur mencakup 18,1 persen dari total yang ada di pasar global. Kedua wilayah tersebut hanya tertinggal dari Eropa yang memiliki nilai outstanding terbesar di dunia.
China merupakan pasar obligasi berkelanjutan terbesar di Asia Tenggara dan Asia Timur, dengan 66 persen dari total obligasi hijau. Pada akhir kuartal I/2022, China memiliki nilai outstanding obligasi berkelanjutan di China mencapai US$238,8 miliar.
Baca Juga
Sementara itu, jumlah obligasi berkelanjutan di wilayah Asean masih lebih rendah dibandingkan dengan China. Meski demikian, ADB meyakini pasar tersebut masih memiliki ruang pertumbuhan yang cukup baik, terutama di tengah tren global yang beralih ke emisi rendah karbon.
Pemerintah Thailand merilis obligasi berkelanjutan pada 2020 lalu saat mencari pendanaan untuk mengatasi pandemi virus corona. Dari penawaran tersebut, pemerintah Thailand mengumpulkan penawaran sebesar 60,9 miliar baht.
Angka penawaran tersebut melebihi 3 kali nilai yang ditawarkan pemerintah atau oversubscribed. Kala itu, pemerintah Thailand mengatakan tingginya penawaran disebabkan oleh permintaan internasional terhadap investasi hijau, terutama pada perekonomian di Asia Tenggara yang tengah berkembang.
“Thailand berada di posisi yang tepat untuk memaksimalkan daya tarik investor terhadap instrumen ini karena pasar obligasinya yang matang,” demikian kutipan laporan ADB dan Climate Bonds Initiative belum lama ini.
Sementara itu, pemerintah Singapura pada Februari lalu menargetkan emisi obligasi hijau sebesar SG$35 miliar hingga 2030 mendatang. Penerbitan ini rencananya akan digunakan untuk mendanai proyek infratruktur publik ramah lingkungan yang akan memberi dampak positif baik untuk generasi saat ini maupun generasi masa depan.
Pada Juni lalu, pemerintah Singapura juga telah mengeluarkan kerangka kerja untuk emisi obligasi hijau. Kerangka kerja tersebut mencakup sejumlah hal, mulai dari penggunaan dana, evaluasi dan pemilihan proyek, pengelolaan dana yang diperoleh, hingga alokasi dan pelaporan hasil.
Menteri Keuangan Singapura Indranee Rajah menyebutkan emisi obligasi berkelanjutan dan penggunaannya ke proyek – proyek hijau akan menfasilitasi transisi Negeri Singa ke ekonomi rendah karbon.
“Kami berharap dapat memperdalam likuiditas pasar untuk obligasi hijau, menarik minat penerbit dan investor hijau dan mengkatalisasi pembiayaan berkelanjutan di Asia Tenggara,” jelasnya.
Langkah serupa juga dilakukan oleh Filipina yang awal tahun ini menerbitkan obligasi hijau pertamanya. Penerbitan ini dilakukan setelah Filipina merilis Sustainable Finance Roadmap pada 2021 lalu.
Filipina menerbitan obligasi hijau bertenor 25 tahun senilai US$1 miliar pada Maret lalu. Sebulan kemudian, Filipina kembali menerbitkan obligasi hijau senilai 70,1 miliar yen atau US$600 juta yang dibagi dalam beberapa seri dengan tenor berbeda.
Eks Menteri Keuangan Filipina Carlod Dominguez mengatakan minat investor yang tinggi terhadap obligasi hijau mengindikasikan kepercayaan investor terhadap komitmen Filipina untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan memitigasi perubahan iklim.
“Salah satu komitmen Filipina adalah mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 75 persen pada 2030,” katanya.
Sementara itu, Indonesia dan Malaysia dengan populasi yang mayoritas beragama Islam memperkenalkan produk green islamic bonds atau green sukuk (sukuk hijau). Pada 2017 lalu, Malaysia menerbitkan green sukuk untuk membiayai pembangunan pembangkit listrik tenaga surya.
Data dari Securities Commission Malaysia menyebutkan, sejak 2017 hingga akhir tahun lalu, korporasi di Malaysia telah menjual green sukuk senilai US$1,9 miliar atau 8,3 miliar ringgit. Hal ini menjadikan Malaysia sebagai negara dengan penerbitan sukuk hijau terbesar di dunia.
Sementara itu, data dari Climate Bonds Initiative menyebutkan pada periode 2018 – 2021 Indonesia telah menerbitkan obligasi hijau senilai lebih dari US$6,3 miliar. Pemerintah Indonesia merilis sukuk hijau pada 2018 setelah setahun sebelumnya mulai mengeluarkan kerangka kerja untuk obligasi hijau konvensional dan islami.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan obligasi hijau menjadi salah satu alternatif pembiayaan pemerintah untuk APBN. Pada saat yang bersamaan, penerbitan obligasi hijau juga diharapkan dapat membantu pemerintah mencapai target penurunan emisi, termasuk emisi karbon 0 persen pada 2060.
Dana dari penerbitan obligasi hijau Indonesia telah digunakan untuk proyek – proyek infrastruktur hijau, termasuk energi terbarukan, transportasi rendah emisi, pengelolaan air yang berkelanjutan,dan lainnya.
“Sukuk hijau kami telah menjadi instrumen atraktif yang cukup menarik perhatian,” ujar Sri Mulyani Februari lalu.