Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rights Issue Korporasi di Semester II/2022 Diproyeksi Terganjal 'Efek Suram' Ini

Tantangan rights issue datang dari potensi terjadinya kontraksi ekonomi di semester kedua ini, yang mulai tercermin dari pergerakan rata-rata saham sudah mulai berbalik dari tren menguatnya.
Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022).  Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue menjadi pilihan beberapa emiten di pasar modal untuk meraih dana. Analis menyebut, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi emiten-emiten ini di paruh kedua 2022.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengatakan, secara makro kondisi ekonomi tahun ini lebih baik dibanding tahun lalu. Menurutnya, hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan kinerja keuangan emiten yang rata-rata lebih baik.

"Sehingga seharusnya emiten lebih optimistis akan dapat memperoleh target dana seiring meningkatnya kepercayaan para investor," ujar Pandhu kepada Bisnis, Kamis (7/7/2022).

Meski demikian, Pandhu melihat ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan emiten-emiten yang akan menggelar rights issue ini. Tantangan, menurutnya, datang dari potensi terjadinya kontraksi ekonomi di semester kedua ini, yang mulai tercermin dari pergerakan rata-rata saham sudah mulai berbalik dari tren menguatnya.

Dia menjelaskan, IHSG yang pada awal tahun cukup kuat ditopang oleh sektor komoditas, belakangan ini mulai goyah setelah terus tertekan oleh capital outflow yang hingga saat ini belum tampak mereda.

Pandhu melanjutkan, tantangan lainnya yaitu tingkat inflasi yang terus meningkat berpotensi memukul daya beli. Hal ini juga dikhawatirkan akan memaksa BI menaikkan suku bunga sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.

"Beberapa faktor tersebut berpotensi mengurangi minat para investor untuk mengikuti rights issue, karena mungkin saja dana sudah dibelanjakan ke saham lain yang lebih menarik," tuturnya.

Apalagi, lanjut Pandhu, jika koreksi masih berlanjut untuk beberapa waktu mendatang, akan banyak saham blue chip yang secara struktur modal lebih sehat dan secara kinerja keuangan lebih prospektif, diperdagangkan pada valuasi yang cukup murah.

Sementara dari faktor internal perseroan yang berencana melakukan rights issue, menurutnya rata-rata memiliki struktur modal yang kurang sehat, dengan porsi hutang sudah terlalu besar sehingga sangat membebani kinerja. Hal ini memaksa perseroan untuk mencari alternatif permodalan.

"Proses rights issue yang cukup panjang bahkan memaksa beberapa emiten melepas aset mereka seperti yang terjadi pada emiten konstruksi. Yang dikhawatirkan adalah jika yang dilepas adalah aset produktif, sehingga akan memangkas potensi pendapatan dan laba di masa mendatang," ucapnya.

Dia juga mencermati, agar target perolehan dana dapat terpenuhi, biasanya emiten akan memutuskan harga eksekusi rights issue dibawah harga pasar.

Menurutnya, hal tersebut akan menjadi lebih sulit, karena belakangan ini harga saham sudah terkoreksi cukup dalam, sementara jumlah lembar baru yang dapat diterbitkan terbatas untuk melindungi kepemilikan pengendali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper