Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bursa AS Menguat Jelang Pembukaan Pasar Asia

Indeks di Amerika Serikat yang berisi perusahaan-perusahaan asal China terpantau menguat selama empat hari beruntun hingga perdagangan Senin (2/5/2022) waktu setempat.
Pelaku pasar sedang memantau perdagangan di bursa New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, Senin (20/9/2021)./Bloomberg
Pelaku pasar sedang memantau perdagangan di bursa New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, Senin (20/9/2021)./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Investor tengah menanti sentimen kenaikan pada bursa AS akan menjadi rangsangan positif terhadap pasar Asia ditengah kenaikan suku bunga di Australia yang pertama sejak 2010.

Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (3/5/2022), indeks di AS yang berisi perusahaan-perusahaan asal China terpantau menguat selama empat hari beruntun hingga perdagangan Senin waktu setempat. Hal tersebut berpotensi menjadi katalis positif untuk bursa Hong Kong yang akan kembali dibuka setelah libur.

Sementara itu, kontrak berjangka di Australia dan AS terpantau melemah. Adapun, sejumlah pasar di Asia seperti Jepang dan China tengah memasuki masa libur. Aksi beli pada harga yang rendah di sektor teknologi AS memicu kenaikan di Wall Street setelah kondisi pasar yang cenderung melemah pada April lalu.

Sentimen-sentimen negatif yang muncul dengan cepat terhapus oleh kekhawatiran pasar terhadap inflasi yang tinggi, pengetatan kebijakan moneter secara global, dan lockdown yang idberlakukan pemerintah China.

Selanjutnya, imbal hasil obligasi AS atau US Treasury terpantau turun setelah sempat menyentuh level 3 persen untuk pertama kalinya sejak 2018. Indeks dolar AS juga terus menguat dan kian mendekati level tertinggi dalam 2 tahun.

Hari ini, pasar akan mempersiapkan diri untuk kenaikan suku bunga terbesar The Fed sejak tahun 2000 pada Rabu besok. Sementara itu, Australia diprediksi akan menaikkan suku bunga sebesar 15 basis poin pada hari ini.

“Menurut kami, strategi yang paling tepat saat ini adalah untuk mempersiapkan diri menghadapi sentimen inflasi dibandingkan dengan resesi, yang masih merupakan sebuah kemungkinan,” jelas Solita Marcelli, Chief Investment Officer for the Americas di UBS Global Wealth Management.

Adapun, harga minyak dunia bertahan di level US$105 per barel seiring dengan sikap pasar yang terus memperhitungkan potensi gangguan pasokan akibat perang Rusia – Ukraina dan penurunan permintaan di China akibat penyebaran virus corona.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper