Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Yield SUN Tembus 7 Persen, Manajer Investasi Beralih ke Obligasi Korporasi

Hari ini tingkat imbal hasil SUN Indonesia telah menembus level 7,09 persen. Selama sepekan terakhir, yield SUN Indonesia telah melemah sebesar 8,1 basis poin.
Karyawan memantau pergerakan harga saham di kantor Mandiri Sekuritas, Jakarta, Rabu (11/10)./JIBI-Abdullah Azzam
Karyawan memantau pergerakan harga saham di kantor Mandiri Sekuritas, Jakarta, Rabu (11/10)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Tren pelemahan imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) membuat perusahaan manajer investasi (MI) meracik ulang produk reksa dana berbasis obligasinya dengan surat utang korporasi yang cenderung lebih stabil.

Data dari World Government Bonds pada Rabu (20/4/2022) mencatat, tingkat imbal hasil SUN Indonesia telah menembus level 7,09 persen. Selama sepekan terakhir, yield SUN Indonesia telah melemah sebesar 8,1 basis poin.

Sementara itu, dalam periode 1 bulan belakangan, imbal hasil SUN telah melemah 27,2 basis poin.

Terkait hal tersebut, Chief Investment Officer STAR AM Susanto Chandra mengatakan, pihaknya kini lebih memilih untuk mencari obligasi bertenor pendek pada produk reksa dana pendapatan tetap. Hal ini seiring dengan ekspektasi peningkatan suku bunga global ke depannya.

Selain itu, STAR AM juga beralih dari instrumen surat utang negara ke obligasi korporasi. Menurut Susanto, fluktuasi yield SUN saat ini cukup tinggi sehingga berpotensi menekan return produk-produk reksa dana pendapatan tetapnya.

“Saat ini obligasi korporasi relatif lebih stabil dibandingkan obligasi negara. Kami juga terus menerapkan analisa kredit secara komprehensif,” jelasnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (20/4/2022).

Susanto mengatakan, pergerakan imbal hasil SUN Indonesia masih akan cukup tertekan ke depannya. Selain kenaikan suku bunga global, sentimen peningkatan inflasi juga akan menekan pasar surat utang selama beberapa waktu ke depan.

“Kami prediksi yield SUN seri 10 tahun akan bergerak di kisaran 6,5 persen – 7,5 persen hingga akhir 2022,” katanya.

Secara terpisah, Direktur Utama Pinnacle Persada Investama Guntur Surya Putra mengatakan, pihaknya memiliki 2 jenis produk reksa dana berbasis obligasi. Pertama, Pinnacle Indonesia Bond Fund yang portofolionya fokus di SBN. Kedua, Pinnacle Dana Obligasi Unggulan yang komposisinya kombinasi antara SBN sebagai aset dasar mayoritas dan obligasi korporasi sebagai aset dasar minoritas.

“Untuk di Pinnacle Indonesia Bond Fund, hampir 100 persen komposisi di obligasi negara, dan untuk di reksa dana Pinnacle Dana Obligasi Unggulan, hampir 70 persen di obligasi negara, dan sisanya di obligasi korporasi,” paparnya.

Guntur mengatakan, kedua produk ini memiliki strategi pengelolaan yang sedikit berbeda karena perbedaan karakter dari aset dasar obligasi. Namun, pada umumnya Pinnacle tetap menerapkan strategi kuantatif dan active duration strategy.

“Tim kami menerapkan strategi durasi secara aktif baik lengthening ataupun shorterning terhadap ekspektasi perubahan suku bunga,” jelasnya.

Khusus untuk Pinnacle Dana Obligasi Unggulan, Guntur mengatakan kualitas kredit dengan analisa kredit sangat ditekankan dalam pemilihan aset surat utang perusahaan. Dengan volatilitas pasar sekarang, Guntur mengatakan pihaknya memilih obligasi korporasi tenor pendek karena lebih atraktif.

“Secara durasi portofolio kami juga sudah diperpendek untuk di reksa dana berbasis surat utang,” tambahnya.

Sebelumnya, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengungkapkan reksa dana dengan bauran portofolio obligasi korporasi bakal lebih tahan dibandingkan dengan yang racikan isinya hanya Surat Utang Negara (SUN).

"Dalam konteks reksa dana bukan menarik atau tidak menarik, tapi kalau kebijakannya misalkan 30 persen-50 persen di obligasi korporasi, ya harus segitu. Kupon obligasi relatif tinggi dan jatuh temponya pendek, jadi lebih resilience terhadap fluktuasi harga," ungkapnya

Menurutnya, dalam ketidakpastian seperti saat ini, investor mencari reksa dana yang dapat memberikan imbal hasil secara berkala.

Kebetulan di Panin Asset Management, porsi obligasi lebih dominan. Lebih lanjut, Rudiyanto menjelaskan harga obligasi pemerintah mayoritas cenderung negatif.

"Hal ini karena kenaikan harga komoditas memicu inflasi tinggi dan reaksi bank sentral yang lebih agresif, menyebabkan harga obligasi turun terutama yang diterbitkan pemerintah," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper