Bisnis.com, JAKARTA – Adanya tekanan pasar keuangan secara global turut membuat prospek obligasi korporasi cenderung tertekan pada tahun ini.
“Sejalan dengan tekanan pasar keuangan akibat tekanan risk-off sentiment di pasar global, obligasi korporasi cenderung tertekan, dan mendorong kenaikan yield,” ungkap Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata saat dihubungi Bisnis, Selasa (19/4/2022).
Josua berpendapat, kenaikan yield atau imbal hasil surat utang di pasar global berasal dari kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Tekanan tersebut diprediksi masih berlanjut seiring dengan belum meredanya konflik antara Rusia dan Ukraina. Selain itu juga terdapat sentimen pengetatan moneter The Fed.
“Dengan belum adanya sinyal perdamaian Rusia-Ukraina serta perubahan kebijakan The Fed, maka diperkirakan di jangka pendek, sebagian besar obligasi, termasuk obligasi korporasi masih akan tertekan,” kata Josua.
Belum lagi, lanjutnya juga terdapat proyeksi dari kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) pada semester kedua tahun ini.
Pada paruh kedua tahun ini, Josua memperkirakan sentimen global akan mulai mereda, tetapi tergantikan oleh sentimen domestik. Terutama terkait dengan inflasi dan kenaikan suku bunga BI.
Baca Juga
Meski terdapat tekanan, Josua mengungkapkan dari sisi pasar keuangan, di sektor riil arah pertumbuhan ekonomi masih cenderung berada di jalur pemulihan.
Dia menyampaikan risiko di sektor riil tersebut terutama terkait kenaikan tingkat inflasi. Hal tersebut dikhawatirkan membebani daya beli masyarakat.
Sementara, sektor yang berpotensi menjadi mendapatkan keuntungan dari sentimen global kata Josua diantaranya adalah sektor pertambangan, serta sektor dengan komoditas berbasis ekspor.
Di mana hal tersebut ungkapnya terefleksi dari neraca perdagangan Indonesia yang tercatat surplus akibat kenaikan harga komoditas global.
Lebih lanjut terkait dengan kemungkinan gagal bayar obligasi korporasi, Josua berpendapat risiko tersebut akan relatif rendah.
“Kondisi perekonomian yang masih cenderung menguat mendorong kemungkinan gagal bayar menjadi relatif rendah di tahun 2022, meskipun kemungkinan terjadi lonjakan yield masih relatif tinggi,” tutup Josua.