Bisnis.com, JAKARTA – Emiten konsumer PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) mencatatkan penjualan yang moncer sepanjang 2021 ditopang penjualan mie instan yang berkontribusi 70 persen terhadap keseluruhan pendapatan.
Analis NH Korindo Sekuritas Cindy Alicia Ramadhania memaparkan, penjualan Indofood CBP juga didukung oleh kenaikan penjualan domestik maupun internasional.
“Segmen produk mie instan meraup penjualan tertinggi dibandingkan segmen lainnya, yakni Rp41 triliun atau bertumbuh 28,2 persen year-on-year (yoy),” tulis Cindy dalam risetnya, dikutip Selasa (19/4/2022).
Sepanjang 2021, ICBP membukukan total penjualan Rp56,8 triliun, meningkat 21,8 persen yoy. Namun, laba bersihnya turun 3 persen yoy.
Cindy melanjutkan, menurunnya laba bersih ICBP karena adanya kerugian selisih kurs dari aktivitas pembiayaan perseroan yang belum direalisasi menjadi Rp6,4 triliun.
Adapun beberapa segmentasi yang mencatatkan kinerja positif di antaranya produk minuman dengan margin EBIT sepanjang 2021 sebesar 2,2 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yang sempat minus 2,1 persen.
Baca Juga
Sedangkan segmen mie instan, bumbu penyedap makanan, serta nutrition & special foods mencatatkan peningkatan margin EBIT 2021 masing-masing sebesar 24,3 persen, 13,1 persen, dan 8 persen.
Produk susu dan makanan ringan mengalami penurunan margin EBIT. Pada 2020 produk susu menyentuh margin EBIT 12 persen, namun pada 2021 menjadi 8,4 persen. Makanan ringan pun turun 1,8 persen.
Cindy menilai, meski harga komoditas terus merangkak naik, kinerja ICBP diprediksi dapat terus bertumbuh. “Didorong oleh penjualan Pinehill yang menargetkan Timur Tengah dan Afrika,” imbuhnya.
Pada 2020 ICBP mengakuisisi Pinehill Company Limited dengan nilai transaksi mencapai Rp41,56 triliun. Pangsa pasar Pinehill tergolong kuat di 8 negara dengan 12 fasilitas produksi mie instan. Akuisisi Pinehill dianggap mampu mendongkrak kinerja positif ICBP.
Saham ICBP direkomendasikan beli dengan target harga Rp9.400 per sahamnya, dan price to earning ratio 17,3 kali serta potensi peningkatan 27 persen.
“Risiko utama dalam rekomendasi kami adalah daya beli konsumen yang kurang optimal dan kenaikan harga komoditas,” tutup Cindy.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.