Bisnis.com, JAKARTA - Harga komoditas batu bara mengalami lonjakan seiring krisis yang terjadi di Rusia-Ukraina. Akan tetapi, meskipun harga batu bara melonjak, harga saham sejumlah emiten tambang batu bara tercatat belum mampu menyentuh titik tertinggi atau all-time high (ATH).
Analis Panin Sekuritas Timothy Wijaya mengatakan, harga saham emiten tambang yang belum menyentuh ATH ini dikarenakan investor global ingin sektor energi bertransisi ke energi bersih terbarukan (EBT).
"Kalau kita lihat sekarang yang ATH adalah perusahaan tambang logam seperti MDKA, HRUM, INCO, jadi memang ada rotasi. Memang batu bara naik tinggi, tapi, yang lebih prospek jangka panjang sektor tambang logam," ucap Timothy dalam webinar Panin Sekuritas, dikutip Minggu (13/3/2022).
Dia melanjutkan, konflik Rusia-Ukraina memiliki pengaruh yang besar di pasar batu bara. Dia menjelaskan, saat ini Rusia memasok batu bara ke Asia dan Eropa.
Dengan konflik yang terjadi dan sanksi Eropa ke Rusia, membuat Eropa kesulitan mendapatkan pasokan energi seperti gas dan batu bara.
"Jadi rencananya Eropa mau menggunakan EBT, untuk mengurangi ketergantungan gas ke Rusia dengan menukar penggunaan gas ke batu bara. Tetapi, begitu perang mereka sadar cukup tidak tertolong, karena untuk menggunakan batu bara tetap bergantung ke Rusia," tuturnya.
Baca Juga
Sehingga secara jangka pendek, negara-negara Eropa kebingungan untuk mendapatkan suplai batu bara karena tidak bisa meminta suplai dari Rusia. Sementara permintaan ke negara lain seperti Indonesia dan Australia membutuhkan biaya yang mahal.