Bisnis.com, JAKARTA – Menghadapi risiko konflik geopolitik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia, ahli investasi mengimbau agar investor tak panik dan tetap memperhatikan kinerja fundamental perusahaan.
Founder of GaleriSaham.com Rio Rizaldi mengatakan, investor untuk bersikap lebih hati-hati dalam berinvestasi. Kendati ekonomi Indonesia lebih dipenuhi sentimen optimisme pasca pandemi, dia menilai jangan reaktif dengan sentimen akibat gejolak geopolitik.
Analisa pasar, rekam jejak data, kondisi makro dan mikro perlu lebih dipahami dalam menyikapi perkembangan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi menurutnya harus dilihat untuk menentukan price action.
Oleh karena itu, sebenarnya lebih baik jika kondisi ekonomi bertumbuh pada kondisi ideal tanpa adanya konflik seperti yang sedang terjadi di Benua Biru.
“Investor harus tahu konsep dasar pergerakan harga. Market juga kompleks, tidak hanya melihat dampak perang Rusia vs Ukraina, tapi proyeksi ekonomi Indonesia, defisit neraca perdagangan, dan lainnya. Untuk itu, investor perlu aware untuk sentimen market sekarang dan akan datang tetapi tidak perlu reaktif terhadap berita-berita sekarang,” ujarnya melalui keterangan resmi, Senin (28/2/2022).
Dia pun menekankan bahwa investor di dalam negeri jangan panik menghadapi sentimen konflik Rusia-Ukraina terhadap pasar, yang kemudian menjual sahamnya. Investor juga perlu selalu mencermati kondisi fundamental usaha emiten.
Baca Juga
“Sebagai investor harus mengikuti konsep pebisnis yaitu mencari jalan supaya survive. Mereka berusaha tetap bertahan bahkan growing dalam kondisi apapun. Mungkin trader bisa mengikuti pebisnis. Sehingga lebih siap dengan segala keadaan dan berusaha terus tumbuh,” ujarnya.
Sebelumnya, Founder of Forum Saham, Tape Trader8 & Beta Trader Yuzha Sha juga menjelaskan bahwa masih ada harapan kendati ekonomi dunia diantam konflik geopolitik. Pasalnya, Rusia misalnya amat bergantung pada komoditas. Mulai dari minyak, gas, batu bara, hingga barang mineral hasil olahan tambang seperti tembaga, berlian dan emas.
Konflik geopolitik Rusia-Ukraina mendorong kekhawatiran menipisnya pasokan nikel dunia. Sedangkan Indonesia adalah salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.
“Ini akan menjadi salah satu potensi yang menjadikan ekonomi Indonesia hebat kembali. Karena seperti yang kita tahu bahwa key resource yang ada di dunia ini, sebagai contoh untuk nikel hanya ada beberapa negara yang mempunyai jutaan ton di dalamnya,” ujarnya.
Di sisi lain, karena konflik tersebut Rusia tengah menghadapi sanksi boikot ekonomi dari dunia internasional yang tentunya mengganggu ekspor negeri Beruang Merah tersebut. Sehingga pasokan komoditas dari Rusia kepada dunia perlu digantikan oleh negara-negara pesaingnya. Salah satunya dari Indonesia.
Lebih lanjut, Yuzha mengatakan, konflik Rusia dan Ukraina bisa kembali mendorong super siklus komoditas yang membuat harga komoditas pada tahun 1950-an hingga 1960-an naik tinggi. Juga pada awal dekade 2000-an. Berkaca pada 2001, penaikan komoditas tersebut berlangsung dalam kurun 3-4 tahun atau maksimal 5 tahun.
Kendati demikian, menurutnya kondisi ekonomi global akan lebih baik jika konflik seperti invasi Rusia ke Ukraina segera berakhir, agar dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi global pasca terhantam pandemi.