Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apa Itu Blast Furnace? Proyek yang Bikin Dirut Krakatau Steel Diusir DPR

Proyek Blast Furnace KRAS pertama kali digodok sejak 2008 dan mulai dibangun pada 2012, kemudian mulai beroperasi pada 5 Desember 2019.
Karyawan PT Krakatau Steel Tbk. menyelesaikan pembuatan pipa baja disebuah pabrik di Cilegon, Banten. Bisnis
Karyawan PT Krakatau Steel Tbk. menyelesaikan pembuatan pipa baja disebuah pabrik di Cilegon, Banten. Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Emiten produsen baja, PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) memiliki fasilitas pabrik besi baja atau blast furnace yang sudah rampung tetapi tidak dioperasikan. Perkara hal ini yang membuat Direktur Utama KRAS diusir saat rapat dengan komisi VII DPR RI. 

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Hariyadi yang memimpin jalannya rapat mengusir Silmy Karim yang menjadi Direktur Utama Krakatau Steel. Pengusiran tersebut terjadi karena kedua belah pihak berdebat ketika sidang berjalan sekitar 36 menit.

Bambang menilai langkah perseroan untuk menutup pabrik blast furnace sebagai aksi kontra-produktif. Sebab, di satu sisi emiten plat merah itu ingin menggenjot produksi tetapi di sisi lain pabrik justru dihentikan.

Pasalnya, pabrik itu telah beroperasi sejak 11 Juli 2019. Tudingan maling teriak maling pun semakin memperuncing suasana. “Ini jangan maling teriak maling. Begitu, jangan kita ikut bermain pura-pura tidak ikut bermain,” ungkapnya pada Senin (14/2/2022).

Merasa tidak terima dengan pernyataan tersebut, Silmy mempertanyakan maksud ucapan Wakil Ketua Komisi VII DPR. Namun karena tensi sudah meninggi, Bambang merasa Direktur Utama itu tidak lagi menghargai persidangan.

“Anda tolong hormati persidangan ini, ada teknis persidangan, kok kayaknya Anda tidak pernah menghargai komisi, kalau sekiranya Anda tidak bisa ngomong di sini Anda keluar,” tegasnya.

Proyek Blast Furnace KRAS pertama kali digodok sejak 2008 dan mulai dibangun pada 2012, kemudian mulai beroperasi pada 5 Desember 2019. Saat diangkat sebagai Dirut KRAS pada akhir 2018, progres pembangunan sudah mencapai 98 persen.

Operasional fasilitas tersebut akhirnya dihentikan dan mangkrak sampai saat ini karena inefisiensi yang dialami perseroan. Menteri BUMN Erick Thohir sempat murka karena mangkraknya proyek ini, padahal nilai investasi yang dikeluarkan tidak sedikit yakni mencapai US$850 juta atau sekitar Rp12 triliun.

Untuk diketahui, blast furnace merupakan proses metalurgi untuk mereduksi bijih besi atau iron ore dan mengubahnya menjadi logam besi cair bersuhu tinggi dengan sarana tungku pelebur.

Proyek Blast Furnace Complex merupakan proses panjang yang diawali pada 2008 dan dieksekusi pada 2012. Setelah itu, pada 2019 proyek rampung.

Pabrik baru tersebut memproduksi hot metal yang menghasilkan slab. Sayangnya, slab produksi KRAS lebih mahal dibandingkan dengan harga slab pasar sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual HRC atau gulungan hitam besi.

Harga slab produksi KRAS sebesar US$742 per ton, sedangkan harga slab market US$476 per ton, dan HRC market US$629 per ton.

Atas kajian KPMG, dengan perubahan asumsi pada saat perencanaan dan kondisi aktual, kinerja KRAS akan lebih buruk dengan mengoperasikan Blast Furnace dalam 5 tahun ke depan. KRAS diproyeksikan mengalami kerugian dan memerlukan tambahan modal kerja hingga US$2,5 miliar.

"Saya bergabung pada 2018 akhir, ketika itu progres kisaran 98 persen, kami kejar dalam hitungan bulan agar segera beroperasi. Akhirnya berproduksi di 2019, kemudian setelah beroperasi kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya, atau dengan kata lain rugi," urai Silmy dalam paparannya sebelum diusir DPR.

Dengan demikian, pengoperasian fasilitas tersebut dihentikan. Salah satu penyebab tidak efisiennya fasilitas tersebut karena tidak adanya fasilitas basic oxygen furnace (BOF), karena sebelumnya BOF dirancang tetap menggunakan jalur electric furnish yang dimiliki KRAS.

Pengadaan BOF ini pun yang menjadi objek kerja sama untuk mendatangkan mitra strategis baru pengoperasian fasilitas tersebut.

"Proyek ini memang harus diselesaikan kemudian dihentikan, karena sangat menguras kemampuan keuangan KRAS, belum lagi utang yang ditimbulkan akibat proyek ini yang harus dilakukan restrukturisasi. Setelah proses itu kami selesaikan dilanjutkan restrukturisasi yang lain, KRAS bisa membukukan keuntungan 2 tahun berturut-turut," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper