Bisnis.com, JAKARTA - Emiten BUMN produsen baja, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) bakal menyelesaikan kasus fasilitas Blast Furnace yang membuat perseroan terlilit utang melalui dua cara, yakni menyelesaikan secara komersil dan hukum.
Presiden Direktur Krakatau Steel Silmy Karim menuturkan fasilitas Blast Furnace menyisakan sejumlah tantangan baru bagi perseroan, termasuk mencari mitra kerja sama dan penyelesaian secara hukum.
"Langkah penyelesaian blast furnace dilakukan dengan mencari partner, fasilitas sudah ada, sudah sempat jalan, kemudian kami harus investasi tambahan basic oxygen furnace sebesar US$100 juta. Berhubung kami tengah restrukturisasi dan harus optimalkan sisa kemampuan keuangan untuk transformasi, kami utamakan langkah-langkah yang berdampak cepat yang membalikan keadaan KRAS," urainya di Komisi VII DPR, Senin (14/2/2022).
Menurutnya, saat ini terdapat beberapa pihak asing yang berminat bekerja sama pada fasilitas iron steel making tersebut. Hal ini, terangnya, guna mengurangi risiko pada proyek tersebut karena sudah terlalu banyak dana yang digunakan ke proyek ini.
"Arahan Menteri BUMN [Erick Thohir] juga melihat apa penyebabnya dari sudut pandang hukum, sehingga Kementerian BUMN melibatkan gedung bundar [Kejaksaan Agung] pada 2021, setelah peresmian fasilitas HSM 2, muncul arahan menyelesaikan dari sisi hukum," paparnya.
Setelah itu, KRAS mempersiapkan informasi yang dibutuhkan Kejaksaan Agung untuk penegakan hukum melihat potensi penyimpangan dari sisi hukum.
Baca Juga
"Proses ini sedang berlangsung, dalam waktu dekat akan ada kesimpulan dan langkah lanjutan Kejaksaan Agung," imbuhnya.
Proyek Blast Furnace Complex merupakan proses panjang yang diawali pada 2008 dan dieksekusi pada 2012. Setelah itu, pada 2019 proyek rampung.
Pabrik baru tersebut memproduksi hot metal yang menghasilkan slab. Sayangnya, slab produksi KRAS lebih mahal dibandingkan dengan harga slab pasar sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual HRC atau gulungan hitam besi.
Harga slab produksi KRAS sebesar US$742 per ton, sedangkan harga slab di pasar US$476 per ton, dan HRC di pasar US$629 per ton.
Atas kajian KPMG, dengan perubahan asumsi pada saat perencanaan dan kondisi aktual, kinerja KRAS akan lebih buruk dengan mengoperasikan Blast Furnace dalam 5 tahun ke depan. KRAS diproyeksikan mengalami kerugian dan memerlukan tambahan modal kerja hingga US$2,5 miliar.
"Saya bergabung pada 2018 akhir, ketika itu progres kisaran 98-99 persen, kami kejar dalam hitungan bulan agar segera beroperasi. Akhirnya berproduksi di 2019, kemudian setelah beroperasi kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan karga jual tidak cocok hitungannya, atau dengan kata lain rugi," urainya.
Dengan demikian, pengoperasian fasilitas tersebut dihentikan. Salah satu penyebab tidak efisiennya fasilitas tersebut karena tidak adanya fasilitas basic oxygen furnice (BOF), karena sebelumnya BOF dirancang tetap menggunakan jalur electric unfurnice yang dimiliki KRAS.
Pengadaan BOF ini pun yang menjadi objek kerja sama untuk mendatangkan mitra strategis baru pengoperasian fasilitas tersebut.
"Proyek ini memang harus diselesaikan kemudian dihentikan, karena sangat menguras kemampuan keuangan KRAS, belum lagi utang yang ditimbulkan akibat proyek ini yang harus dilakukan restrukturisasi. Setelah proses itu kami selesaikan dilanjutkan restrukturisasi yang lain, KRAS bisa membukukan keuntungan 2 tahun berturut-turut," ungkapnya.