Bisnis.com, JAKARTA – Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menetapkan bahwa mata uang kripto hukumnya haram. Beberapa bulan sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa serupa.
Mengutip laman resmi Muhammadiyah pada Selasa (18/1/2022), fatwa haramnya mata uang kripto disampaikan dalam keputusan Fatwa Tarjih.
“Dalam Fatwa Tarjih menetapkan bahwa mata uang kripto hukumnya haram baik sebagai alat investasi maupun sebagai alat tukar,” tulis Muhammadiyah dalam laman resminya, dikutip Rabu (19/1/2022).
Majelis tersebut menjelaskan bahwa memandang mata uang kripto dari dua sisi yaitu sebagai instrumen investasi dan sebagai alat tukar.
Hal tersebut berdasarkan kerangka Etika Bisnis yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dalam Musyawarah Nasional XXVII di Padang tahun 2003 sebagai seperangkat norma yang bertumpu pada akidah, syariat, dan akhlak yang diambil dari Al Qur’an dan Sunah Al Maqbulah yang digunakan sebagai tolok ukur dalam kegiatan bisnis serta hal-hal yang berhubungan dengannya.
Mata uang kripto sebagai alat investasi menurut Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki banyak kekurangan jika ditinjau dari syariat Islam. Diantaranya terdapat sifat spekulatif yang sangat kentara.
Baca Juga
Mereka mencontohkan, nilai bitcoin sangat fluktuatif dengan kenaikan atau penurunan yang tidak wajar. Selain itu, cryptocurrency tersebut ungkapnya mengandung gharar atau ketidakjelasan.
Di mana bitcoin ungkapnya hanyalah angka-angka tanpa adanya underlying-asset atau aset yang menjamin bitcoin, seperti emas dan barang berharga lain.
“Sifat spekulatif dan gharar ini diharamkan oleh syariat sebagaimana Firman Allah dan hadis Nabi Saw serta tidak memenuhi nilai dan tolok ukur Etika Bisnis menurut Muhammadiyah, khususnya dua poin ini, yaitu: tidak boleh ada gharar (HR. Muslim) dan tidak boleh ada maisir (QS. Al Maidah: 90),” paparnya.
Sementara itu, sisi kedua mata uang kripto adalah sebagai alat tukar. Adapun majelis menjelaskan, berdasarkan hukum asalnya adalah boleh sebagaimana kaidah fikih dalam bermuamalah.
Majelis mengungkapkan, penggunaan mata uang kripto sebenarnya mirip dengan skema barter, selama kedua belah pihak sama-sama rida, tidak merugikan dan melanggar aturan yang berlaku.
“Namun, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah (mencegah keburukan), maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah,” lanjutnya.
Bagi Majelis Tarjih, standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar seharusnya memenuhi dua syarat yaitu diterima masyarakat dan disahkan negara yang dalam hal ini diwakili oleh otoritas resminya seperti bank sentral.
Penggunaan bitcoin sebagai alat tukar sendiri terangnya, bukan hanya belum disahkan negara, tetapi juga tidak memiliki otoritas resmi yang bertanggung jawab atasnya. Belum lagi jika berbicara mengenai perlindungan terhadap konsumen pengguna bitcoin.
Oleh sebab itu, menurut majelis dapat diketahui bahwa terdapat kemudaratan dalam mata uang kripto.