Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbentuk sekitar 23 tahun lalu. Tepatnya pada 14 Maret 1998, Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN diumumkan sebagai bagian dari Kabinet Pembangunan VII yang dipimpin Presiden Soeharto.
Namun, kementerian yang khusus menangani perusahaan pelat merah ini sebenarnya dikonsepkan sebagai korporasi, tepatnya holding company bernama Indonesia Incorporated.
Hal itu diungkapkan oleh Tanri Abeng, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan, yang juga merupakan konseptor dari Indonesia Incorporated.
Dia mengisahkan hal itu berawal dari kondisi krisis ekonomi yang dahsyat melanda Indonesia pada 1998. Di tengah kondisi tersebut tepatnya pada 15 Januari 1998, Presiden Ke-2 RI meneken nota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF) yang salah satu poin kesepakatannya adalah Indonesia akan mendapatkan pinjaman senilai US$43 miliar.
“Pada waktu itu, besar sekali ya, karena Indonesia sudah dilanda krisis yang dahsyat. Rupiah kita sudah terdepresiasi dari Rp2.400 ke Rp10.000 [per US$]…Dan bahkan pada bulan Mei sampai menjadi Rp17.000 per US$,” ungkapnya dalam webinar bertajuk Transformasi BUMN di Tengah Tantangan Ketidakpastian Ekonomi 2022, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Selasa (21/12/2021).
Dalam konferensi pers usai penandatanganan tersebut, Soeharto meminta masyarakat tak perlu khawatir dengan utang. Pasalnya, Indonesia memiliki banyak BUMN.
Baca Juga
“Tapi beliau tidak menjelaskan korelasi antara utang dan banyaknya BUMN,” ungkapnya.
Tiga hari berselang, Tanri Abeng mengatakan diundang Soeharto dan mendapatkan penjelasan soal kondisi tersebut. Soeharto mengaku tak khawatir akan utang lantaran rencananya akan dibayar dari pemanfaatan 159 BUMN yang ada, termasuk dengan opsi penjualan atau privatisasi yang menjadi salah satu saran IMF.
“Masalahnya pada waktu itu hampir 100 dari 159 BUMN itu tidak sehat. Jadi Pak Soeharto mengatakan saya tidak mau menjual sekarang, saya ingin nilainya ditingkatkan dulu,” jelas Tanri Abeng.
Alhasil, Tanri, yang kala itu menjadi praktisi dengan predikat 'eksekutif termahal', diminta untuk memberikan konsep untuk meningkatkan nilai BUMN. Sebagai respons, dia meminta waktu untuk menyusun konsepnya.
Tiga minggu berselang, sosok kelahiran Selayar pada 7 Maret 1942 ini pun membawa konsep Indonesia Incorporated. Alasannya, 159 BUMN itu berada di bawah 17 kementerian dan dikelola secara birokratis.
“Yang kita perlu lakukan adalah mengeluarkan 159 BUMN ini dari birokrasi. Berarti dari kementerian teknis, saya mengusulkan supaya dibentuk apa yang dikenal dengan holding company.”
Indonesia Incorporated tersebut memiliki 10 sektor usaha atau mirip seperti klasterisasi pada 12 sektor yang direalisasikan Kementerian saat ini.
Tanri Abeng, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan, memberikan penjelasan dalam webinar bertajuk Tranformasi BUMN di Tengah Tantangan Ketidakpastian Ekonomi 2022, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Selasa (21/12/21) - Bisnis/Oktaviano DB Hana
Dalam pertemuan tersebut, Tanri Abeng pun menyarankan agar Soeharto tak langsung menjual BUMN yang nilainya membaik demi menambah defisit APBN. Privatisasi, jelas dia, harus menjadi opsi terakhir setelah profitisasi.
“Saya mengatakan kepada Pak Harto jangan begitu Pak. Jangan dijual dulu. Kita profitisasi dulu supaya meningkat tetapi sebelum privatisasi. Pada saat nilai tertinggi baru kita privatisasi.”
Namun, Tanri Abeng mengatakan hasil berbeda saat pengumuman anggota Kabinet Pembangunan VII dirilis. Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN muncul sebagai kementerian baru dengan Tanri Abeng sebagai menteri perdananya.
“Padahal saya sebenarnya tidak mengusulkan terbentuknya kementerian. Oleh karenanya dua hari sesudah ditunjuk, saya sudah membuat struktur organisasi daripada kementerian.”
Debirokratisasi dan Depolitisasi
Alhasil, jelas dia, struktur organisasi Kementerian BUMN perdana itu merupakan struktur organisasi korporasi. Struktur itu menghasilkan keputusan yang sangat cepat untuk pemulihan BUMN.
Di bawah menteri yang merangkap kepala badan hanya ada lima deputi. Dua deputi di antaranya membawahi restrukturisasi dan privatisasi, sedangkan tiga deputi lainnya menangani 159 BUMN yang ada kala itu. Di bawah deputi itu hanya ada para direktur yang masing-masing rata-rata menangani sepuluh BUMN.
“Jadi proses pengambilan keputusan itu cepat sekali. Intinya tidak ada birokrasi yang menjadi momok biasanya dari sebuah organisasi. Jadi, dari awal sudah terjadi proses yang saya namakan debirokratisasi. Itu sebabnya maka seluruh agenda-agenda yang kita kerjakan itu bisa berjalan dengan cepat.”
Tanri Abeng melihat struktur kementerian BUMN saat ini lebih padat dengan Menteri yang didukung wakil menteri dan deputi serta jumlah pegawai yang mencapai 400 orang. Pada era Kementerian BUMN perdana hanya memiliki 150 orang karyawan.
Namun, kewajiban untuk mereformasi struktur organisasi ini tidak hanya berlaku bagi Kementerian BUMN, melainkan juga di tubuh setiap BUMN itu sendiri.
“Ini memang di BUMN, saya lihat kok mulai terjadi birokratisasi lagi.”
Tanri menceritakan pengalamannya ketika menjabat Komisaris Utama PT Pertamina sejak Mei 2016 hingga November 2019—beliau digantikan oleh Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok—.
Menurutnya, kala itu struktur organisasi Pertamina ada lima lapisan. Dia menilai struktur organisasi tersebut sungguh birokratis dan mengakibatkan proses pengambilan keputusan lambat.
“Dalam bisnis itu harus terjadi kalau ada struktur organisasi yang tidak birokratis, itulah yang saya maksudkan dengan debirokratisasi. Jadi tidak saja dari kementerian tetapi juga dari BUMN itu sendiri,” ungkapnya.
Selain debirokratisasi, Tanri Abeng menilai perlunya upaya depolitisasi di Kementerian BUMN dan perusahaan pelat merah itu sendiri. Langkah ini akan memberikan ruang bagi para talenta berbakat di BUMN atau swasta untuk memajukan perusaah pelat merah.
“Supaya mereka teman-teman di BUMN itu bisa dengan cepat dan tegas tanpa ada beban politik untuk mengambil langkah-langkah korporasi,” tandasnya.
Toto Pranoto, pengajar dan pengamat BUMN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia memberi pemaparan dalam webinar bertajuk Tranformasi BUMN di Tengah Tantangan Ketidakpastian Ekonomi 2022, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Selasa (21/12/21) - Bisnis/Oktaviano DB Hana
Senada dengannya, Toto Pranoto, pengajar dan pengamat BUMN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia juga mengakui perlunya depolitisasi khususnya dalam penentuan dan kinerja direksi serta komisaris BUMN.
Oleh karena itu, dia berharap amandemen Undang-Undang No. 19/2003 tentang BUMN dapat segera terealisasi dengan memuat poin tersebut.
Poin lain yang urgen dalam amandemen UU BUMN itu adalah keleluasaan Kementerian BUMN agar bisa lebih langsung mengatur perusahaan pelat merah.
Di samping itu, jelas dia, poin terkait business judgement rule perlu masuk dalam amandemen UU BUMN tersebut. Ketentuan ini terkait dengan perlindungan kepada direksi dari jerat hukum atas keputusan yang diambil di BUMN dan berujung kerugian negara.
Tanpa ketentuan tersebut, jelas dia, direksi BUMN akan cenderung bermain aman dan tak dapat mengoptimalkan potensi perusahaan yang dipimpinnya.
“Penting sekali pemerintah menyegerakan amandemen UU BUMN supaya beberapa yang penting terkait kewenangan BUMN agar lebih cepat, mengatur BUMN lebih direct, dan juga business judgement rule serta upaya memperbaiki talent BUMN,” ungkapnya.