Bisnis.com, JAKARTA- Langkah PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) melalui MDI Ventures berkolaborasi dengan Binance Holdings membangun platform perdagangan kripto di Tanah Air mengundang kritik lantaran tingginya risiko kripto dan prosedur legal yang belum dipenuhi.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan kerja sama antara anak usaha Telkom dan Binance merupakan salah arah entitas pelat merah dalam merespon tren transaksi kripto. Menurutnya, terdapat beberapa pertimbangan investasi yang diabaikan antara lain pertaruhan terhadap risiko yang sangat tinggi dalam aset kripto.
Selain itu, Bhima menyoroti kehadiran Binance yang di berbagai negara malah tidak mendapatkan izin operasi. Bhima menegaskan Indonesia belum memiliki perangkat kebijakan yang menyeluruh terkait pengaturan transaksi kripto.
Di lain sisi, tegasnya, Binance masih dilarang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satgas Waspada Investasi atau SWI telah merilis daftar investasi ilegal, salah satunya Binance.
“Di satu sisi dilarang OJK, tetapi ini malah kerja sama dengan BUMN yang mungkin orientasinya hanya melihat profit saja,” kata Bhima, Sabtu (18/12/2021).
Langkah kontradiktif ini, lanjutnya, menunjukkan adanya kerancuan mendefinisikan aset kripto oleh otoritas. Di berbagai negara yang mengetatkan peraturan, kripto dianggap sebagai aset currency, sehingga otoritas moneter dan keuangan seperti bank sentral ikut turun tangan.
“Persoalannya, ini dianggap sebagai komoditas semata, sehingga di sini peraturan malah ada di Bappebti, padahal ada potensi transaksi kripto merongrong nilai tukar mata uang, arus masuk dan keluar dana,” ungkap Bhima.
Lebih jauh, dia menilai munculnya wacana kerja sama antara anak usaha Telkom dengan Binance merupakan bentuk ketidakjelasan arah kebijakan dan strategi BUMN. Dengan kerja sama itu, Telkom seakan meninggalkan core bussines di bidang infrastruktur teknologi.
“Selayaknya, Telkom dan entitasnya tidak bermain di kripto, melainkan melakukan investasi dan pengembangan terhadap teknologi blockchain yang mempunyai peluang membangun sistem yang kuat bagi korps BUMN,” simpulnya.
Senada, Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi menyesalkan niatan entitas Telkom masuk ke dalam perdagangan kripto. “Seharusnya mengadopsi saja teknologi blockchain-nya, untuk membangun sistem smart contract atau teknologi pencatatan agar sistem operasional lebih efisien, bukan ikutan memfasilitasi spekulasi di bursa kripto,” ungkapnya.
Baidowi mengatakan aset kripto mempunyai risiko yang tinggi, terlebih lagi jika melibatkan entitas bisnis tidak terdaftar. “Karena beberapa kripto bahkan kerap digunakan untuk transaksi ilegal,” katanya.
Sejak 2020, SWI telah melarang seluruh aktivitas Binance di Indonesia. Namun demikian, Binance tetap melakukan transaksi perdagangan kripto di Tanah Air.
Ketua SWI Tongam L. Tobing mengungkapkan Binance tidak memiliki izin operasi. “SWI telah meminta pemblokiran situs dan aplikasi Binance di Indonesia. Kami juga menghimbau masyarakat menggunakan crypto exchanger yang terdaftar di Bappebti untuk memastikan perlindungan konsumen apabila terdapat dispute,” tutupnya.
Sementara itu, Senior Vice President Corporate Communication & Investor Relations Telkom Indonesia Ahmad Reza menjelaskan bahwa tidak menutup kemungkinan Telkom Group melalui anak usaha yang in line dengan teknologi blockchain melakukan kerja sama pengembangan bursa kripto dengan mempelajarinya terlebih dahulu. Hal tersebut juga mungkin dijajaki sepanjang regulasi mengenai bursa kripto sudah memadai baik dari sisi keamanan, good corporate governance, serta transparansi dan perlindungan investor.