Bisnis.com, JAKARTA – Persentase nilai aktiva bersih (NAB) instrumen reksa dana terproteksi sepanjang tahun ini terpantau mengalami penurunan. Analis mengungkapkan hal tersebut berkaitan dengan kondisi saat ini.
Terlepas dari itu disebutkan, reksa dana terproteksi masih bisa menjadi pilihan diversifikasi investasi oleh para investor ritel.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikutip Minggu (21/11/2021), persentase NAB reksa dana terproteksi baik yang konvensional maupun syariah terus mengalami penurunan.
Per Oktober 2021, NAB reksa dana terproteksi konvensional tercatat sebanyak Rp96,21 triliun yang merupakan 17,71 persen dari seluruh jenis NAB di Tanah Air. Persentase tersebut merupakan persentase terendah sepanjang tahun untuk reksa dana terproteksi.
Sementara persentase tertinggi terjadi pada Juni 2021, yaitu sebanyak 19,28 persen dengan NAB sebesar Rp101,15 triliun. Lalu untuk nilai NAB tertinggi instrumen reksa dana terproteksi terdapat pada awal tahun 2021, yaitu Januari sebesar Rp107,05 triliun.
Sama halnya dengan NAB reksa dana terproteksi syariah, di mana pada Oktober 2021 persentasenya sebesar 0,26 persen dengan NAB sebanyak Rp1,44 triliun.
Baca Juga
Penurunan drastis NAB reksa dana syariah sendiri sudah mulai terlihat pada Mei 2021 yang turun menjadi 0,27 persen sementara pada bulan sebelumnya berkontribusi sebesar 6,75 persen dari total NAB.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengungkapkan pemberian keringanan Pajak Penghasilan (PPh) bunga obligasi menjadi salah satu penyebab menurunnya dana kelolaan reksa dana terproteksi.
“Dari sisi dana kelolaan menurun cukup signifikan karena insentif pajak obligasi yang hilang dan juga penerbitan obligasi baru berkurang terkait pandemi Covid-19,” jelas Wawan kepada Bisnis, Sabtu (21/11/2021).
Oleh karena itu Wawan mengungkapkan, bagi investor institusi produk reksa dana terproteksi saat ini kurang menarik karena produk reksa dana tidak memiliki keunggulan insentif pajak lagi.
Namun, menurutnya, bagi investor ritel, produk reksa dana terproteksi masih menarik karena memiliki keunggulan pembelian nominal yang lebih kecil untuk obligasi.
“Masih menarik untuk investor ritel karena untuk membeli SUN misalnya minimal Rp1 miliar rupiah, dengan reksa dana terproteksi hal ini bisa teratasi,” ungkapnya.
Meski demikian, Wawan mengingatkan untuk para investor bahwa berbeda dengan reksa dana pasar uang, reksa dana terproteksi tidak likuid karena dana perlu ditahan hingga jatuh tempo. Menurutnya ketika ingin melakukan diversifikasi dengan menginginkan likuiditas, maka investor disarankan untuk berinvestasi pada produk reksa dana pendapatan tetap.
Produk reksa dana terproteksi jelasnya cocok untuk investor yang memang dananya belum akan digunakan hingga waktu jatuh tempo reksa dana terproteksi tersebut.
Memilih reksa dana terproteksi, menurut Wawan perlu memperhatikan isi dari portofolio produknya. Hal tersebut dikarenakan, sebelumnya sempat terjadi beberapa kasus di mana asetnya gagal bayar.
“Idealnya membeli reksa dana terproteksi yang isinya SUN adalah yang paling aman, atau untuk korporasi sebaiknya yang ratingnya di atas A. Untuk mengejar return memang bisa dengan obligasi A atau BBB, tetapi dengan risiko yang lebih besar,” tutup Wawan.