Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Garuda Mau Restrukturisasi Via Pengadilan, Ini Tantangannya

Pemerintah ingin menggiring proses restrukturisasi keuangan Garuda Indonesia ke pengadilan dan masuk melalui mekanisme PKPU.
Garuda Indonesia Bermasker /Garuda Indonesia
Garuda Indonesia Bermasker /Garuda Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian BUMN mempersiapkan restrukturisasi keuangan emiten maskapai BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) melalui pengadilan. Hasil yang diharapkan dapat mencapai kesepakatan damai dengan seluruh kreditur sekaligus.

Wakil Menteri II BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengungkapkan pihaknya tengah mempertimbangkan dua opsi restrukturisasi keuangan Garuda, yakni melalui pengadilan atau in court atau di luar pengadilan atau out court.

Dia menjelaskan negosiasi utang PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) dilakukan di luar pengadilan melakukan negosiasi satu per satu dengan semua bank, termasuk bank swasta. Dalam kasus BUMN lain seperti Waskita dan PTPN juga demikian.

"Khusus Garuda, negosiasi restrukturisasi Garuda lebih menantang, tidak hostile, dan kreditur lebih win-win dan butuh waktu. Sayangnya, saat ini isunya tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat, Garuda butuh cepat, kalau tidak cepat 3-6 bulan pesawatnya bisa di-grounded semua, akan terus kena grounded karena tidak dibayar cicilannya," paparnya dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR, Selasa (9/11/2021).

Pemerintah ingin menggiring proses restrukturisasi keuangan ke pengadilan dan masuk melalui mekanisme PKPU.

Dia juga menekankan terdapat salah persepsi yang menyebut Kementerian BUMN ingin mempailitkan Garuda, karena sebenarnya mekanisme pengadilan ditujukan untuk mendapatkan perdamaian.

"Di PKPU kami akan ajukan proposal perdamaian, sebagai pemegang saham dan perusahaan, kemudian di voting kalau setuju dengan proposal akan jadi homologasi mengikat semua pihak," terangnya.

Jika gagal dan para kreditur tidak setuju Garuda akan dinyatakan pailit secara hukum. Persepsi publik yang salah yakni pemerintah ingin mempailitkan Garuda Indonesia, padahal, pemerintah ingin menyelamatkan Garuda melalui skema pengadilan dengan tujuannya homologasi perdamaian.

Ketika PKPU dilakukan, lessor luar negeri harus mendaftarkan diri di Indonesia agar dapat tunduk terhadap yurisdiksi di Indonesia, walaupun harus mendaftarkan lagi hasilnya di Pengadilan Niaga London.

"Ini pelik, karena ada masalah waktu yang mesti dipercepat, tidak mungkin negosiasi satu-satu 60 kreditur bisa 2 tahun tak selesai," ungkapnya.

Dengan demikian, pemerintah sebagai pemegang saham pengendali cenderung memilih restrukturisasi melalui jalur hukum. Dalam proses ini pemerintah dapat melakukan restrukturisasi seluruh kreditur secara sekaligus.

Salah satu tantangan utama yakni kreditur Garuda 70 persen di antaranya merupakan kreditur asing sehingga dinamikanya berbeda dengan BUMN lain. Sulit pula melakukan permohonan moratorium karena tidak semua pemberi sewa atau lessor mau moratorium.

Selain itu, posisi ekuitas GIAA juga menjadi tantangan karena likuiditas yang tidak cukup saat ini.

Tantangan risiko adanya tuntutan hukum, karena yurisdiksi yang berbeda. Walau di Indonesia mau moratorium bisa digugat yuridiksi di Inggris, seperti Aircap tantangannya dia gugat di London kita kalah.

"Oleh karena itu, kami cenderung mendorong menjadi restrukturisasi in court, opsi utamanya jadi restrukturisasi in court. Bagusnya apapun hasilnya mengikat seluruh kreditur," katanya.

Ketika hasilnya mengikat seluruh kreditur, termasuk untuk kreditur luar negeri mesti mendaftar terlebih dahulu di Indonesia. Begitu pula hasilnya, nanti perlu didaftarkan di Pengadilan Niaga di London agar dapat diratifikasi oleh kreditur lainnya atau melalui UK scheme.

"Lewat ini bisa beri kemampuan akhiri dan negosiasi ulang semua perjanjian perdamaian ini 75 persen setuju, 25 persen tak setuju tetap bisa diputus setuju dengan voting. Sementara, tanpa court harus ada 100 persen persetujuan, kalau ada yang tak setuju bisa gagal perjanjiannya," urainya.

Namun, tantangan berat menghadang dari para lessor yang pesawatnya sudah pasti dilepas oleh Garuda Indonesia. GIAA berencana mengurangi jumlah pesawatnya dari 208 pesawat menjadi hanya 134 pesawat dengan menyisakan 7 jenis pesawat dari 13 jenis yang digunakan saat ini.

Bagi lessor yang pesawatnya dilepas oleh GIAA, akan menjadi situasi tidak menguntungkan karena pesawat dilepas dan utang ingin dibayar. Dengan demikian, perlu ada pemanis agar dapat disetujui.

"Ini semua akan sangat membutuhkan waktu dan kompleks, karena secara legal ini ada yurisdiksinya di Indonesia, di London mungkin sebagian di Singapura. Kami akan gunakan yurisdiksi utama untuk menyelesaikan isu legalnya," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper