Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan tapering off yang dijadwalkan mulai pada akhir November diyakini hanya akan berdampak sementara terhadap pasar Surat Utang Negara (SUN) Indonesia.
Berdasarkan laporan Bloomberg yang dikutip pada Kamis (4/11/2021), The Fed berencana memulai tapering akhir bulan ini dan akan berlanjut pada kecepatan US$15 miliar hingga Desember 2021. Di sisi lain, FOMC mengklarifikasi bahwa dapat mengubah kecepatan tapering sesuai kebutuhan.
“Komite menilai bahwa pengurangan serupa dalam laju pembelian aset bersih kemungkinan akan sesuai setiap bulan, tetapi siap untuk menyesuaikan laju pembelian jika dijamin oleh perubahan prospek ekonomi, ” kata pernyataan FOMC.
Di sisi lain, Gubernur The Fed Jerome Powell berusaha menekankan bahwa tapering tidak akan diikuti oleh kenaikan suku bunga segera. Dia mengatakan para pejabat dapat bersabar dalam pengetatan, tetapi tidak akan gentar dari tindakan jika dijamin oleh inflasi.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto memaparkan, langkah tapering akan kembali menekan pasar SUN Indonesia di sisa tahun ini.
Ia mengatakan hal ini terlihat dari pergerakan yield atau imbal hasil SUN Indonesia yang kembali menunjukkan pergerakan negatif selama sepekan belakangan.
Baca Juga
Data dari laman World Government Bonds mencatat, tingkat imbal hasil Surat Utang Negara Indonesia seri acuan 10 tahun berada pada kisaran 6,31 persen. Selama 1 pekan terakhir, yield SUN Indonesia tercatat melemah 8,1 basis poin.
Tertekannya pasar SUN Indonesia juga mulai terlihat pada berkurangnya tingkat kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia.
Berdasarkan data dari laman Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, hingga akhir Oktober 2021, tingkat kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia tercatat sebesar Rp950,98 triliun atau 21,39 persen dari total surat utang.
Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kepemilikan pada pertengahan Oktober lalu sebesar Rp955,15 triliun atau 21,43 persen dari total SBN. Sementara, pada akhir September lalu, tingkat kepemilikan asing terhadap SBN Indonesia adalah sebesar Rp966,11 triliun, mencakup 21,72 persen dari total surat utang.
Ramdhan memaparkan, program tapering yang dilaksanakan The Fed akan memicu investor untuk beralih ke pasar AS dari emerging market seperti Indonesia. Akibatnya, pasar obligasi Indonesia akan kembali merasakan capital outflow meski tidak setinggi pada masa awal pandemi virus corona.
Aliran dana yang keluar tersebut akan berimbas pada penurunan tingkat kepemilikan asing terhadap SBN Indonesia. Selain itu, tingkat likuiditas di pasar SUN Indonesia akan turut terdampak.
“Pasar SUN kita saat ini masih ditopang oleh investor domestik karena tingkat kepemilikan asing yang belum pulih. Kalau para investor domestik lebih wait and see, maka likuiditas pasar juga akan terimbas,” jelasnya.
Meski demikian, Ramdhan menilai pelemahan yang terjadi pada pasar SUN Indonesia akan cenderung terbatas. Hal ini seiring dengan kondisi pasar SUN domestik yang masih didominasi oleh investor dalam negeri.
Ia mengatakan, aksi jual SUN yang dilakukan investor asing dapat diserap oleh investor domestik. Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor utama tingkat imbal hasil (yield) SUN Indonesia dapat bergerak stabil.
Selain itu, sentimen tapering juga dinilai sudah cukup diperhitungkan pasar sejak awal tahun ini. Sehingga, dampak isu ini terhadap kondisi pasar obligasi Indonesia hanya bersifat temporer.
“Setelah tapering mereda, pasar akan mencari sentimen-sentimen lain yang signifikan,” katanya.
Secara terpisah, Vice President of Economist Bank Permata Josua Pardede memperkirakan pengumuman tapering The Fed tidak akan berpengaruh banyak pada pergerakan investor asing di pasar SBN Indonesia.
Salah satu alasannya ungkap Josua karena pelaku pasar keuangan global yang sudah priced-in terkait rencana tapering oleh The Fed yang berpotensi diumumkan pada rapat FOMC bulan ini.
“Maka pasar keuangan Indonesia cenderung berdaya tahan dalam mengantisipasi dampak dari kebijakan The Fed tersebut,” kata Josua.
Selain itu, Josua juga mengungkapkan bahwa pergerakan investor asing di pasar obligasi domestik sendiri juga berpengaruh terbatas pada pergerakan SBN dalam jangka pendek. Terutama karena proporsi investor asing yang semakin kecil saat ini.
Josua menyebutkan, per 1 November 2021, investor asing hanya memegang 21,16 persen obligasi dari total SBN yang diterbitkan.
“Rendahnya proporsi investor asing tersebut diperkirakan berdampak pada semakin rendahnya exposure SBN dan nilai tukar pada sentimen luar negeri,” lanjutnya.
Namun Josua mengingatkan bahwa pelaku pasar saat ini perlu mencermati apabila stance kebijakan moneter The Fed yang berpotensi hawkish kedepannya mempertimbangkan potensi peningkatan inflasi AS.
Hal tersebut akan dapat mendorong ekspektasi anggota FOMC terhadap kenaikan suku bunga AS yang lebih cepat dari perkiraan awal.
“Meskipun cenderung berdampak terbatas, kami perkirakan hingga akhir tahun obligasi benchmark 10-tahun diperkirakan bergerak di kisaran 6,2 persen - 6,4 persen, didorong oleh potensi peningkatan yield US Treasury akibat sentimen tapering ataupun inflasi di AS,” papar Josua.
Sementara untuk faktor upside atau faktor pendukung pergerakan yield SBN sendiri papat Josua antara lain adalah solidnya indikator makroekonomi dan stabilitas keuangan karena fundamental ekonomi Indonesia yang berdaya tahan.
Josua melanjutkan, hingga akhir tahun risiko suplai SBN/SBSN juga berkurang, serta kebijakan burden sharing SKB III antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) turut mendukung stabilitas pasar SBN.