Bisnis.com, JAKARTA – Investor asing memegang porsi lebih besar saham PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) dibandingkan dengan investor lokal.
Berdasarkan laporan perseroan dikutip Kamis (7/9/2021), sebanyak 384 badan usaha asing memegang saham emiten teknologi itu sebanyak 53,85 miliar. Jumlah itu setara dengan 52,25 persen dari kepemilikan per akhir September 2021.
Adapun badan usaha asing yang tercatat memegang saham BUKA di atas 5 persen adalah API Investment Limited sebesar 13,44 miliar atau 13,04 persen. Lalu The Northern Trust Company sebanyak 9,73 miliar atau 9,44 persen.
Sementara investor asing ritel memiliki 501,49 juta saham yang setara dengan 0,48 persen. Dengan demikian total kepemilikan asing pada saham BUKA itu sebanyak 52,74 persen. Adapun jumlah pemegang saham hanya 509 pihak saja.
Berdasarkan data RTI, dalam sebulan terakhir memang investor asing kerap melakukan akumulasi beli dengan total Rp1,13 triliun. Hal itu setidaknya membuat saham perseroan tumbuh sebesar 1,23 persen.
Di sisi lain, total kepemilikan investor lokal mencapai 48,70 miliar yang setara dengan 47,25 persen. Pemegang saham terbesar adalah investor ritel sebanyak 119.032 orang dengan porsi kepemilikan 15,95 persen.
Baca Juga
Posisi kedua ditempati oleh 172 perseroan terbatas yang memegang 25 persen atau 25,77 miliar dan 88 asuransi dengan porsi 2,69 persen atau 2,78 miliar. Terakhir, reksa dana sebanyak 220 produk dengan presentase 3,10 persen arau setara 3,19 miliar.
Sebelumnya Tim riset Shinhan Sekuritas menyatakan Bukalapak memiliki kepiawaian dalam jaringan dagang mikro sehingga memili banyak ruang untuk mendorong pertumbuhan e-commerce. Mereka memperkirakan harga emiten teknologi itu bisa menyentuh Rp1.000.
“Kami menggunakan rata-ratarasio EV/Penjualan Pertumbuhan e-commerce sebesar 0,23 kali sebagai jangkar untuk mendorong penilaian kami yang menyiratkan EV/Penjualan sebesar 16 kali. Valuasi ini mencerminkan 0,3 kali dari perkiraan EV/Total Processing Value [TPV] Bukalapak,” tulis tim dalam riset dikutip Kamis (23/9/2021).
Shinhan Sekuritas berpendapat model bisnis online to offline (O2O) akan meningkatkan bisnis mikro-ritel. O2O, lanjut tim, adalah model bisnis yang memungkinkan toko ritel mikro offline untuk meningkatkan nilainya melalui platform.
Berdasarkan data Bukalapak 35 persen dari gross merchandise value (GMV) berasal dari produk fisik sedangkan 65 persen dari barang digital. Pada 2020 GMV yang dihasilkan dari e-warung sekitar US$2,9 miliar sedangkan produk digitalnya US$3,98 miliar.
Tim riset Shinhan Sekuritas memperkirakan tren untuk GMV akan mencapai US$3 miliar untuk barang fisik dan US$55,4 miliar pada tahun 2025.
“Segmen O2O akan menghasilkan lebih banyak kemitraan dalam ekosistem digital dan akan memiliki dampak positif untuk meningkatkan pijakannya dalam bisnis UMKM," tulis riset tersebut.