Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja emiten rokok bakal sangat tergantung pada kebijakan tarif cukai 2022. Sejauh ini, emiten rokok belum mampu membalikan margin akibat kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2021 yang rata-rata sebesar 12,5 persen.
Marolop Alfred Nainggolan, Kepala Riset PT Koneksi Kapital, mengatakan pasar masih menunggu pengumuman tarif CHT 2022 yang rencananya dilakukan Oktober 2021. Saat ini, emiten rokok masih harus menaikkan harga jual rokok antara 3 persen hingga 6 persen untuk mengkompensasi kenaikan CHT tahun 2021.
“Pasar masih menunggu besaran kenaikan tarif cukai dan keputusan pemerintah terhadap penyederhanaan atau simplifikasi struktur cukai,” katanya dalam siaran pers, Rabu (29/9/2021).
Alfred menjelaskan pada laporan kinerja kuartal II/2021, sejumlah emiten mengalami penurunan margin kotor hingga 5 persen (year-on-year/yoy) dan 7 persen-8 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019.
Kinerja emiten rokok juga masih sangat ditentukan oleh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah. Untuk mengurangi dampak akibat PPKM dan kenaikan cukai tahun 2021, katanya, emiten telah berangsur menaikkan harga jual produknya kepada konsumen.
“Memang tidak ada pilihan karena kalau tidak dilakukan profitabilitas perusahaan akan semakin tergerus,” tambahnya.
Baca Juga
Alfred menambahkan para pelaku pasar sudah mulai melakukan justifikasi terhadap rencana kenaikan tarif CHT 2022. Hanya saja, yang belum diperhitungkan adalah rencana penyederhanaan struktur tarif CHT yang oleh Kementerian Keuangan telah berkali-kali disampaikan.
Menurutnya, keputusan pemerintah sangat menentukan sentimen yang akan dialami emiten. Jika pemerintah menaikkan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) tanpa simplifikasi, maka emiten yang menjual rokok murah seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) dan PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) akan mendapatkan sentimen positif karena konsumen akan beralih ke produk murah.
Wismilak dan ITIC merupakan emiten non-tier 1 dengan portofolio produk rokok murah yang cukup besar. Sebaliknya, jika kenaikan HJE diikuti simplifikasi, maka emiten seperti PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) akan mendapatkan sentimen positif karena mereka memiliki produk golongan I, yang selama ini dijual dengan harga lebih tinggi.
Deputy Head of Research RHB Capital Michael W. Setjoadi dalam Program RHB Smart Talk beberapa waktu lalu mengatakan sepanjang September 2021 emiten cukup agresif menaikkan harga jual untuk menjaga margin akibat kenaikan CHT awal tahun. Namu, terdapat fenomena peralihan konsumsi masyarakat ke produk yang lebih murah.
Menurut Michael, kenaikan CHT dan HJE tanpa simplifikasi sebenarnya kontraproduktif dengan upaya pemerintah menurunkan jumlah perokok.
Pasalnya, sudah banyak konsumen yang menurunkan konsumsi rokoknya ke merek yang lebih murah. Michael menghitung, tahun 2019 konsumen rokok non-tier 1 berada di kisaran 20 persen dan di tahun 2021 sudah meningkat menjadi 30 persen.
“Banyak perokok pindah ke rokok murah, jika harga produk ini tidak dipaksa naik,“ katanya.
Data Paparan Publik Wismilak Juli 2021 mencatat, sepanjang 2020 penjualan SKM mild Wismilak melonjak tajam hingga tiga kali lipat menjadi 962 juta batang dibandingkan tahun 2019 sebanyak 311 juta batang.
Tren ini juga berlanjut hingga tahun ini sampai Maret 2021 penjualan produk SKM mild Wismilak tercatat 353 juta batang, jauh di atas periode yang sama tahun 2020 sebanyak 129 juta batang. Sejauh ini 78 persen penjualan Wismilak ditopang oleh SKM dan 22 persen sisanya dari SKT.