Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan manajer investasi asal Inggris PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders Indonesia) memperkirakan efek kebijakan pengetatan (tapering) dari Bank Sentral AS tidak akan terlalu menekan pasar saham Tanah Air.
Pasalnya, Indonesia masih berada dalam tahap awal pemulihan ekonomi dan saham-saham di Bursa Efek Indonesia cenderung memiliki valuasi lebih murah.
Presiden Direktur Schroders Indonesia Michael T. Tjoajadi menjelaskan ekonomi selalu berputar dalam siklus naik dan turun. Di dalamnya, menaikkan maupun menurunkan suku bunga menjadi suatu alat untuk menjaga agar ekonomi tidak terlalu lesu maupun tidak terlalu panas.
Dengan kondisi saat ini, dia menilai keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga memang diperlukan untuk menjaga supaya perekonomian tidak overheated. Seperti diketahui, inflasi yang terjadi saat ini didorong oleh kenaikan daya beli masyarakat dan dikombinasikan dengan penguatan harga komoditas.
“Tapi harus diingat, siklus kita di Indonesia ini baru naik dan kita tidak perlu takut dengan tapering. Suku bunga pasti dinaikkan dan ini memang dibutuhkan agar tidak terjadi hiperinflasi yang membahayakan ekonomi,” kata Michael kepada Bisnis, Jumat (20/8/2021).
Dengan suku bunga yang dinaikkan, Michael menilai pertumbuhan ekonomi yang diprediksi naik tahun ini bakal tetap berlanjut bahkan hingga tahun depan.
Baca Juga
Shcroders Indonesia memperkirakan PDB dunia bakal tumbuh 5,9 persen pada 2021 dan selanjutnya ke kisaran 4 persen-4,5 persen pada 2022 dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga.
Walaupun optimistis dengan pertumbuhan ekonomi yang akan berlanjut setelah terjadi resesi pada 2020, Michael mengingatkan bahwa sentimen bakal tetap ada di pasar saham karena pergerakan harga terjadi secara harian.
“Di pasar saham kan bergerak harian. Ketika The Fed ada sinyal menaikkan suku bunga, indeks Dow Jones turun, tapi ini kan saham bergerak terus. IHSG juga tidak turun terlalu lama, kemarin turun lebih dari dua persen, sekarang sudah naik lagi,” tutur Michael.
Belum lagi, Michael menunjukkan bahwa valuasi saham di Indonesia juga cenderung lebih menarik walaupun suku bunga dikerek. Realita itu berbeda dengan di Amerika Serikat maupun China yang mana indeks saham di sana sempat menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah (historical high) dengan valuasi yang kemungkinan sudah mahal.
Dengan kenaikan suku bunga, investor juga biasanya akan mencari negara yang memiliki valuasi lebih murah dan meninggalkan negara yang memiliki valuasi mahal.
“Indonesia memang agak terlambat pertumbuhan ekonominya, walaupun begitu kita terus memperlihatkan perkembangan yang baik. Itu menjadi kesempatan,” ujar Michael.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,64 persen menjadi 6.030,77 pada Jumat (23/8/2021). Sejak awal tahun, indeks komposit tumbuh 0,86 persen.
Sehari sebelumnya, IHSG sempat terjun 2,06 persen ke level 5.992,32 pada Kamis (22/8/2021) setelah rilis FOMC Minutes yang mengindikasikan The Fed bakal segera melakukan pengetatan.