Bisnis.com, JAKARTA – Aksi pencatatan saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) pada Jumat (6/8/2021) kemarin direspon positif oleh para investor pasar modal.
BUKA menawarkan sebanyak 25,76 miliar lembar saham kepada publik atau 25 persen dari total modal ditempatkan dan disetor penuh, dengan harga penawaran Rp850 per saham.
Dengan demikian, perseroan meraih dana segar mencapai Rp21,9 triliun dari IPO. Ini merupakan dana hasil penghimpunan terbesar sepanjang sejarah Bursa Efek Indonesia.
Terkait hal tersebut, CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menuturkan, langkah Bukalapak sebagai startup teknologi pertama yang IPO di bursa Indonesia merupakan hal yang berani. Dia memaparkan, perusahaan teknologi seperti Bukalapak sebenarnya akan lebih mudah melakukan IPO di negara lain seperti AS.
Meski demikian, langkah ini merupakan upaya inovasi dari perusahaan agar kegiatan usaha berjalan dengan lebih optimal.
“Ini merupakan langkah selanjutnya untuk Bukalapak menjadi lebih sustainable dan menjadi milik masyarakat, terutama di Indonesia,” katanya dikutip dari konten Channel Youtube Gita Wirjawan berjudul Bukalapak Buka Lembaran Baru, Sabtu (7/8/2021).
Baca Juga
Dia melanjutkan, sebagai startup teknologi pertama yang melantai di bursa Indonesia, Bukalapak juga secara tidak langsung memberikan edukasi terkait kehadiran perusahaan serupa dan dampaknya di Indonesia dari beragam sisi.
Selain itu, dengan resmi menjadi perusahaan terbuka, Rachmat mengatakan Bukalapak dapat naik kelas dengan adanya pengawasan dan validasi langsung dari publik.
“Sebagai perusahaan yang usianya 11 tahun, dengan go public ini membuat kita menjadi lebih dewasa lagi,” lanjutnya.
Sebelumnya, Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengungkapkan keberhasilan emiten bersandi BUKA ini meraih Rp21,9 triliun dari pasar modal agaknya meningkatkan kepercayaan diri perusahaan rintisan lainnya.
"Harusnya ini meningkatkan kepercayaan diri perusahaan rintisan lainnya yang sudah dikabarkan akan IPO. BUKA bisa menjadi benchmark buat yang lain," jelasnya.
Keberhasilan ini terjadi padahal dari fundamental perusahaan yang masih kurang alias masih merugi. Namun, menurutnya, cukup wajar kondisi fundamental yang belum baik, karena perusahaan e-commerce memang lebih banyak biaya operasional dan pemasarannya.