Bisnis.com, JAKARTA - Emiten maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) menggunakan seluruh dana yang cair obligasi wajib konversi (OWK) atau convertible bond Rp1 triliun untuk memenuhi kewajiban kepada Pertamina.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Mitra Piranti dalam suratnya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) per Rabu (9/6/2021) memberikan penjelasan mengenai kondisi terkini emiten bersandi GIAA tersebut.
Sesuai dengan perjanjian Penerbitan Wajib Konversi 28 Desember 2020 yang ditanda tangani oleh Perseroan dan PT SMI, bahwa jumlah OWK maksimal Rp8,5 triliun dan dengan jangka waktu maksimal 7 tahun.
"Perseroan telah mencairkan sebesar Rp1 triliun pada tanggal 4 Februari 2021 dan telah digunakan seluruhnya untuk pembayaran biaya bahan bakar kepada Pertamina," jelasnya dikutip Kamis (10/6/2021).
Berkenaan dengan rencana pencairan selanjutnya terdapat beberapa persyaratan pencairan yang ditetapkan pemerintah dan harus dipenuhi oleh perseroan. Sayangnya, GIAA belum dapat memenuhi keseluruhan persyaratan dalam pencairan OWK tahap selanjutnya.
Ketidakmampuan memenuhi persyaratan tersebut karena tekanan kinerja dan kondisi keuangan perseroan pada awal 2021 yang masih terdampak signifikan oleh pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Khususnya berkenaan dengan munculnya varian baru virus corona yang menyebabkan diberlakukannya kembali sejumlah pembatasan dan kebijakan pembatasan pergerakan," katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo menjelaskan mengenai komitmen OWK dari pemerintah bagi Garuda Indonesia yang sebesar Rp8,5 triliun tetapi hanya cair Rp1 triliun.
"OWK itu setelah kita cairkan Rp1 triliun, ada key performance indicator [KPI]-nya, yang waktu tahun lalu Oktober-Desember Garuda mulai tumbuh, tetapi waktu Januari-Maret 2021, ada PPKM dan larangan mudik yang kemudian drop dan KPI tidak tercapai," jelasnya dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Kamis (3/6/2021).
Oleh karena itu, OWK berikutnya tidak bisa ditarik karena tidak memenuhi persyaratan pencairan daripada OWK tersebut.
Dengan demikian, Kementerian BUMN pun akan mengembalikan kebijakan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), karena persyaratannya tidak dimungkinkan untuk dicairkan lagi.