Bisnis.com, JAKARTA – Harga biji kedelai terpantau melemah setelah mencatatkan level tertinggi sejak 2013. Kendati demikian, koreksi harga dinilai hanya sementara dan akan rebound dalam waktu singkat.
Dilansir dari Bloomberg pada Rabu (28/4/2021), harga biji kedelai berjangka untuk kontrak Juli 2021 terpantau turun hingga 1 persen ke US$15,0425 per bushel. Secara year to date (ytd) harga biji kedelai telah naik sekitar 19 persen.
Sebelumnya, harga kedelai sempat menyentuh level tertingginya sejak Juni 2013 lalu pada US$15,35 per bushel setelah menguat selama 10 hari beruntun.
Penguatan tersebut dipicu oleh oleh lambannya proses panen biji kedelai di Argentina dan tertundanya penanaman di AS akibat cuaca dingin.
Terkait hal tersebut, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menuturkan, koreksi harga saat ini hanya bersifat sementara. Hal ini disebabkan oleh sikap investor yang menanti hasil pertemuan bulanan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
“Saat ini, investor tengah menunggu pernyataan The Fed yang diyakini akan melanjutkan kebijakan dovish-nya. Jadi, koreksi saat ini terbilang wajar dan kemungkinan akan rebound pada keesokan harinya,” kata Ibrahim saat dihubungi pada Rabu (28/4/2021).
Ibrahim melanjutkan peluang kelanjutan reli harga kedelai masih sangat terbuka. Hal ini salah satunya disebabkan oleh siklus cuaca yang dialami oleh negara-negara produsen.
Ibrahim memaparkan jumlah pasokan biji kedelai global saat ini tidak dapat mengimbangi tingginya permintaan global. Proses panen di negara-negara seperti Brazil dan Argentina tersendat akibat cuaca kering.
Baca Juga : Harga Baja Melesat Naik, Produksi Kedodoran |
---|
Laporan dari Buenos Aires Grain Exchange mencatat, proses panen biji kedelai di Argentina hingga pekan lalu tercatat sebesar 18,5 persen. Jumlah ini jauh dibawah progres panen periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 56,4 persen.
“Lahan pertanian yang terlalu basah menghambat proses panen yang menggunakan traktor sebagai alat utama,” demikian kutipan laporan tersebut.
Sementara itu, negara produsen lain, Amerika Serikat, baru memasuki fase penanaman awal. Hal ini terjadi karena cuaca dingin berkepanjangan beberapa waktu lalu memicu tertundanya proses penanaman benih kedelai.
Di sisi lain, beberapa negara di dunia masih memberlakukan kebijakan lockdown akibat penyebaran virus corona yang semakin ganas. Langkah ini akan berimbas pada lonjakan permintaan terhadap minyak nabati seperti minyak biji kedelai yang saat ini sudah tinggi.
“Dengan adanya lockdown, maka masyarakat akan lebih banyak memasak di rumah sehingga permintaan terhadap minyak-minyak nabati, termasuk yang terbuat dari kedelai, akan tinggi,” paparnya.
Ibrahim memprediksi sepanjang paruh pertama tahun ini, reli harga biji kedelai masih berlanjut. Menurutnya, harga komoditas ini akan berada pada rentang US$15 per bushel hingga US$17 per bushel hingga akhir semester I/2021.
“Kenaikan US$0,1 per bushel untuk kedelai terbilang sudah tinggi,” kata Ibrahim.
Adapun, momentum bullish bagi harga biji kedelai masih terlihat dengan lonjakan posisi long atau keyakinan terhadap penguatan harga ke level tertinggi sejak September 2020 lalu.
Kendati demikian, biji kedelai dan komoditas lain seperti gandum dan jagung yang diperdagangkan pada bursa Chicago saat ini berada di posisi jenuh beli (overbought). Hal ini terlihat dari indikator relative strength index (RSI) selama 14 hari yang berada diatas 70, mengindikasikan kenaikan harga yang terlalu tinggi dan terlalu cepat.
Agricultural Strategist di Commonwealth Bank of Australia, Tobin Gorey menambahkan, sentimen keterbatasan pasokan masih akan menjadi faktor utama yang menjaga tren kenaikan harga komoditas biji-bijian, termasuk kedelai.
“Reaksi harga terlihat cukup besar dan akan berlanjut. Penurunan hasil panen yang rendah akan berimbas besar pada pergerakan harga,” jelas Gorey.