Bisnis.com, JAKARTA — Tren jual beli aset kripto dinilai bukan menjadi dalang di balik sepinya transaksi di pasar saham selama beberapa pekan terakhir.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menilai bursa saham akan selalu ada peminat, terlepas dengan atau tanpa kehadiran aset lain seperti kripto, sehingga menurutnya peralihan investor bukan penyebab sepinya transaksi bursa.
Dia menyebut penurunan yang terjadi di pasar saham belakangan ini dikarenakan minimnya sentimen positif di pasar modal dan banyak investor yang nyangkut selepas tren transaksi saham yang ramai pada awal tahun.
“Pengalihan mungkin ada juga, tapi saya lihat lebih ke banyak yang masih nyangkut sehingga belum banyak transaksi lagi. Soalnya reli saham pompom sekarang tak terlalu lama,” tuturnya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (15/4/2021)
Baca Juga : Wah, Pemerintah Makin Serius Bentuk Bursa Kripto |
---|
Menurutnya, tren saham pompom yang marak pada awal tahun kini mulai pudar. Alhasil transaksi yang tercatat di bursa pun tak seramai ketika banyak investor khususnya ritel berburu saham-saham pilihan influencer saham panutan mereka.
“Transaksi ramai itu pas lagi rally, kalau sideways kayak sekarang ya enggak bisa ngapa-ngapain juga,” imbuhnya.
Senada, Head of Equity Research BNI Sekuritas Kim Kwie Sjamsudin juga menyebut investor tak akan serta merta berpindah dari satu aset ke aset lainnya. Menurutnya pemilihan aset sesuai profil risiko masing-masing masih menjadi acuan.
“Saya pikir investor akan memilah-milah juga apakah kripto yang tinggi volatilasnya ini sesuai dengan risk profile mereka,” kata Kim kepada Bisnis.
Baca Juga : Apa Itu Bitcoin dan Bagaimana Cara Kerjanya? |
---|
Direktur Asosiasi Pedagang Efek Indonesia (APEI) Rudy Utomo menilai penurunan jumlah transaksi di pasar saham sebagai bagian wajar dari dinamika pasar. Pun, menurutnya hal tersebut tak bisa dipastikan akibat perpindahan ke salah satu instrumen secara spesifik.
“Naik turunnya transaksi saham adalah hal yang wajar, enggak mungkin tiap bulan ramai terus. Seperti dagang kan ada ramai, ada sepi,” tuturnya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (15/3/2021)
Rudy menilai secara historis kehadiran instrumen baru di pasar investasi merupakan hal yang biasa terjadi, termasuk berkembangnya aset digital seperti kripto. Menurutnya, meski banyak kebaruan yang terjadi, pasar modal khususnya pasar saham tetap terus bertumbuh.
“Kita lihat saja pasar modal yang paling lama, di Amerika. Walaupun ada kripto atau apa kan tetap tumbuh dan berkembang. Pasar kita juga sama, naik turun itu biasa, karena pasar modal dimana-mana itu ya sejalan juga,” ujarnya lebih lanjut.
Rudy juga mengatakan adalah hal yang wajar jika investor tertarik dan masuk di beragam aset. Namun, dia meyakini pasar modal masih akan menjadi pilihan utama investor karena sejumlah karakteristik yang menjadi keunggulannya.
Ilustrasi Bitcoin diletakkan di atas lembaran uang dolar AS./REUTERS-Dado Ruvic
“Saya rasa investor juga punya pertimbangan-pertimbangan rasional, mereka akan punya pilihan sendiri. Menurut APEI pasar modal masih jadi pilihan investasi yang menarik dan aman karena asetnya riil, perusahaannya ada, diawasi ketat OJK dan BEI, “ pungkas Rudy.
Sebelumnya, Direktur Perdagangan dan Penilaian Anggota Bursa BEI Laksono W. Widodo juga sempat mengemukakan rasa khawatirnya terhadap transaksi aset digital tersebut.
Laksono menuturkan Bursa belum memiliki pandangan terkait ini karena secara regulasi Bitcoin belum dianggap sebagai instrumen finansial yang diakui oleh Bank Indonesia untuk dapat digunakan sebagai alat pembayaran atau sarana transaksi.
“Secara pribadi ada sedikit kekhawatiran dari saya terkait hal ini. Walau saya belum tahu secara pasti seberapa besar penetrasi bitcoin di Indonesia,” ujarnya belum lama ini.
Berdasarkan pantauan Bisnis, transaksi saham yang tercatat di Bursa memang mengalami penurunan sepanjang tahun berjalan. Padahal, pada awal tahun transaksi bursa melonjak tinggi bahkan hingga menyentuh Rp20 triliun dalam sehari.
Sayangnya, seiring anjloknya IHSG di akhir Januari, perlahan nilai transaksi pun menyusut menjadi sekitar belasan triliun di Februari dan terus turun ke sekitar Rp10 triliun per hari pada Maret. Pun, di awal April transaksi kian sepi dan hampir selalu di bawah Rp10 triliun per hari.