Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia terkoreksi seiring dengan keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) dan sekutunya atau OPEC+ yang akan menambah output produksi harian.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (5/4/2021), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak bulan Mei 2021 terpantau sempat turun hingga 0,6 persen ke level US$61,09 per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, harga minyak Brent kontrak Juni 2021 sempat anjlok hingga 0,7 persen ke posisi US$64,44 per barel di ICE Futures Europe.
Adapun, sepanjang tahun ini harga minyak masih bergerak positif sering dengan proses distribusi vaksin virus corona yang meningkatkan harapan terhadap pembukaan kegiatan ekonomi. Sementara itu, keputusan OPEC untuk menambah output minyak dunia juga merupakan sebuah sinyal positif untuk outlook permintaan.
Selain itu, rilis data ketenagakerjaan AS turut menambah sentimen positif untuk harga minyak. Negeri Paman Sam tersebut dilaporkan menambah jumlah pekerjaan sebesar 900.000 pada Maret 2021 lalu.
Sebelum pertemuan Kamis pekan lalu, OPEC+ diperkirakan mempertahankan sikap hati-hati dengan membatalkan pemotongan yang diterapkan di sebagian besar negara, meskipun Rusia telah diizinkan menaikkan pasokan pada pertemuan sebelumnya.
Baca Juga
Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan keputusan OPEC+ dilakukan guna menguji pasar minyak global. Keputusan penambahan kuota produksi ini dapat dibatalkan jika perlu pada sesi berikutnya yang dijadwalkan pada 28 April mendatang.
Selain penambahan kuota produksi, Arab Saudi juga akan mulai mengurangi pemangkasan produksi sukarelanya sebanyak 250.000 barel per hari pada Mei, 350 ribu barel per hari pada Juni mendatang, serta 400 ribu barel per hari pada Juli 2021.
Setelah kebijakan penambahan produksi minyak, Arab Saudi juga langsung menaikkan Official Selling Prices (OSP) atau harga pengiriman minyak untuk wilayah Asia. Perusahaan minyak milik pemerintah Arab Saudi, Aramco, menaikkan tarif minyaknya sekitar 20 sen hingga 50 sen per barel untuk kargo Mei.
Sementara itu, harga minyak jenis Arab Light yang umumnya dikirimkan ke wilayah Asia akan naik 40 sen dibandingkan bulan April menjadi US$1,80 per barel diatas harga acuan. Sebelumnya, survei Bloomberg memprediksi Aramco akan menaikkan harga sekitar 30 sen.
Harga minyak untuk wilayah Asia telah berada di atas rerata harga untuk wilayah lain seperti Eropa dan Amerika Serikat selama beberapa bulan kebelakang. Hal tersebut terjadi seiring dengan tingginya permintaan di wilayah Asia menyusul laju pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Terkait hal tersebut, Ekonom OCBC Howie Lee menyebutkan kebijakan ini akan menimbulkan efek positif bagi harga minyak dunia.
“Penambahan output yang diikuti dengan kenaikan harga yang dilakukan Arab Saudi menunjukkan kepercayaan diri OPEC+ terhadap pemulihan permintaan minyak dunia,” jelas Lee dikutip dari laporannya.
Sebelumnya, pada pertemuan Kamis (1/4/2021) pekan kemarin, OPEC bersama Rusia dan produsen sekutu lainnya sepakat untuk mengurangi pembatasan produksi sebesar 350.000 barel per hari (bph) pada Mei, 350.000 barel per hari lagi pada Juni, dan lebih lanjut 400.000 barel per hari atau lebih pada Juli.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemangkasan yang diterapkan oleh OPEC+ akan sedikit di atas 6,5 juta barel per hari mulai Mei, dibandingkan dengan sedikit di bawah 7 juta barel per hari pada April.
Founder Vanda Insights di Singapura, Vandana Hari menyebutkan, keputusan penambahan produksi minyak dunia yang dilakukan oleh OPEC+ merupakan bentuk kompromi terhadap kondisi pasar. Menurutnya, kebijakan ini tidak mengindikasikan kepercayaan diri OPEC+ terkait prospek pemulihan permintaan minyak.
“Kebijakan penambahan yang dibarengi dengan dispensasi untuk Rusia kemungkinan telah merenggangkan kohesi antarnegara anggota OPEC+,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Hari memprediksi harga minyak mentah dunia kemungkinan akan mengalami kebuntuan untuk saat ini. Menurutnya, para pelaku pasar masih menanti sinyal-sinyal peningkatan permintaan dari sejumlah wilayah. “Akan terjadi tarik-menarik antara sentimen lockdown di wilayah Eropa dan AS yang mencoba melepaskan diri dari pandemi virus corona,” lanjut Hari.
Di sisi lain, spread harga minyak jenis Brent masih menunjukkan pola backwardation di level 36 sen. Level tersebut menguat bila dibandingkan posisi pada Senin pekan lalu dengan spread 6 sen.
Vice Presdient Macro Oils Wood Mackenzie Ltd., Ann-Louise Hittle mengatakan, penambahan pasokan minyak global diyakini akan berimbas positif bagi pergerakan harga. Kendati demikian, kenaikan harga ini diprediksi akan terbatas. “Keputusan tersebut akan mencegah kenaikan harga yang tajam seiring dengan peningkatan permintaan minyak,” jelas Hittle.
Di sisi lain, Managing Member of the Global Macro Program Tyche Capital Advisors LLC., Tariq Zahir mengatakan, salah satu indikasi kunci prospek positif minyak adalah kurva harga yang masih menunjukkan pola backwardation.
Adapun, pola backwardation merupakan indikasi utama bahwa permintaan minyak menguat dan pasokannya berkurang. Pola ini menunjukkan pengiriman untuk bulan terdekat lebih mahal dibandingkan bulan-bulan mendatang.
Meski demikian, Zahir mengatakan, pola ini juga masih dapat berubah apabila pasar kembali melakukan aksi jual dalam beberapa waktu ke depan. Ia menambahkan, pelemahan tersebut juga mulai terlihat pada beberapa bagian kurva harga minyak global. “Pola backwardation dalam harga minyak dunia saat ini sudah tidak securam sebelumnya,” tambah Zahir.
Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengatakan, pelemahan harga minyak dunia saat ini terbilang wajar. Menurutnya, penurunan ini terjadi setelah harga minyak sempat menembus level tertinggi tahunan di US$63,80 per barel.
“Harga minyak memang biasanya terkoreksi jelang dan setelah pertemuan OPEC+, karena biasanya ada sejumlah negara seperti Uni Emirat Arab yang meminta penambahan kuota produksi,” jelasnya saat dihubungi pada Senin (5/4/2021).
Selain itu, penurunan harga minyak juga dipicu oleh tren penguatan dolar AS yang masih terjadi hingga kini. Hal ini juga ditambah dengan kondisi pasar yang masih mengkhawatirkan potensi kenaikan inflasi.
Dia memaparkan, lonjakan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury juga diprediksi akan menekan bank sentral AS (The Fed) sehingga mengancam reflationary trade dan akan membebani harga komoditas, termasuk harga minyak.
Menurutnya, sepanjang semester I/2021 ini, harga minyak masih akan bergantung pada kebijakan moneter yang akan diambil oleh The Fed. Ia menjelaskan, kebijakan dari The Fed akan menentukan arah pergerakan dolar AS yang akan turut berimbas pada harga komoditas.
“Selama masih ada keyakinan pasar terhadap munculnya super cycle, maka outlook bullish minyak akan tetap berjalan,” jelasnya.
Wahyu memprediksi harga minyak akan bergerak di rentang US$50 hingga US$65 per barel pada pekan ini. Sementara itu, sepanjang semester I/2021, kisaran harga minyak adalah sebesar US$40 hingga US$70 per barel.