Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI dan The Fed Kompak Bikin Rupiah Berjaya

Mata uang Garuda terapresiasi 0,12 persen ke level Rp14.410 per dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah masih terdepresiasi 2,56 persen.
Karyawan menunjukan dolar AS di Jakarta, Rabu (3/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan dolar AS di Jakarta, Rabu (3/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah terapresiasi pada akhir perdagangan Kamis (18/3/2021) setelah Bank Indonesia mengumumkan suku bunga 7-Day Reserve Repo Rate (7-DRRR) dipertahankan di level 3,5 persen.

Mengutip Bloomberg pada Kamis (18/3/2021), mata uang Garuda terapresiasi 0,12 persen ke level Rp14.410 per dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah masih terdepresiasi 2,56 persen.

Di kawasan Asia Pasifik, rupiah menguat bersama sejumlah mata uang lainnya. Won Korea Selatan naik paling tinggi sebesar 0,56 persen dan Ringgit Malaysia naik 0,41 persen.

Pada saat bersamaan, indeks dolar AS terpantau menguat 0,16 persen ke level 91.580.

Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan penguatan rupiah pada hari ini didorong oleh apresiasi pelaku pasar setelah mendengar komentar dovish dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) dan keputusan suku bunga dipertahankan di level 3,5 persen oleh Bank Indonesia.

“Rupiah bisa menguat [lagi] jika pada perkembangannya kenaikan yield Treasury AS dapat membuat kondisi keuangan di AS mengetat sehingga The Fed melakukan intervensi atau BI lebih agresif dalam triple intervention-nya,” jelas Faiz kepada Bisnis, Kamis (18/3/2021). 

Baru-baru ini, Gubernur Federal Reserve Jerome Powell mengeluarkan pernyataan yang menjangkar ekspektasi inflasi dari pelaku pasar.

Sebelumnya, lanjut Faiz, Powell hanya menyatakan bakal membiarkan inflasi menguat (running hot) karena sifat inflasi itu diperkirakan hanya sementara akibat kejutan penawaran (supply shock) dan efek indeks inflasi tahun lalu yang rendah (low base effect).

Selain itu, penekanan The Fed bahwa tapering off masih akan jauh juga membuat pelaku pasar lebih tenang. Hal itu tercermin dari yield Obligasi AS tenor 10 tahun atau US Treasury yang turun dari titik tertingginya setelah FOMC berakhir.

“[Namun], kami melihat potensi tekanan dari eksternal masih akan ada karena kebutuhan penerbitan obligasi AS masih besar sementara The Fed belum ada indikasi untuk intervensi operasional,” imbuh Faiz.

Kendati demikian, cadangan devisa yang tinggi dan surplus neraca perdagangan di Indonesia dinilai seharusnya dapat menopang tekanan tersebut. 

Faiz mengingatkan pelaku pasar harus mencermati tekanan rupiah baru akan terjadi pada semester kedua jika pemulihan ekonomi berlanjut yang seterusnya akan meningkatkan impor.

“Oleh karena itu rupiah masih akan bergerak dalam rentang Rp14.350–Rp14.450,” kata Faiz.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper