Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga bertahan di level US$9.000 seiring dengan prospek pemulihan ekonomi global dan melemahnya nilai tukar dolar AS
Berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (23/2/2021), harga tembaga dengan kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) terpantau sempat naik hingga US$9.254,50 per ton pada perdagangan di Singapura. Level harga tersebut sekaligus mempertahankan posisi tembaga di kisaran tertinggi dalam sembilan tahun atau sejak 2011 lalu.
Harga komoditas yang disebut sebagai “kompas” perekonomian dunia ini telah melesat dari titik terendahnya pada Maret 2020 lalu. Hal ini didorong oleh sikap investor yang meyakini bahwa ketatnya pasokan tembaga global akan berlanjut dan era inflasi rendah akan segera berakhir.
Lembaga pengelola investasi global (hedge fund) saat ini berlomba-lomba memasang posisi bullish pada tembaga sehingga mencatatkan rekor posisi terbesar dalam 1 dekade terakhir.
Keyakinan para pelaku pasar ditopang oleh prospek kemunculan paket stimulus serta tren suku bunga yang rendah akan memicu kenaikan permintaan tembaga. Hal ini juga diyakini akan meningkatkan inflasi serta semakin melemahkan posisi nilai dolar AS.
Citic Futures Co., dalam laporannya mencatat prospek menipisnya pasokan tembaga beserta perbaikan tingkat permintaan menjadi motor utama dalam reli harga yang dinilai diwarnai oleh kepanikan pasar.
Baca Juga
Sebelumnya, Morgan Stanley juga telah memperkuat posisi bullshnya pada komoditas tembaga. Dalam laporannya, Morgan Stanley menjelaskan, kembali normalnya kegiatan ekonomi di China setelah perayaan imlek akan memicu kelanjutan reli harga.
“Pasar tembaga akan menghadapi defisit stok terbesar dalam 1 dekade terakhir pada tahun 2021. Potensi terjadinya kelangkaan tembaga sangat besar terjadi,” demikian kutipan laporan tersebut.
Tanda terjadinya kelangkaan tembaga dinilai sudah terlihat pada bursa London Metal Exchange (LME), dimana pengiriman untuk bulan terdekat atau pasar Spot lebih mahal dibandingkan bulan-bulan mendatang, atau membentuk pola backwardation. Kondisi tersebut juga menggambarkan struktur pasar tembaga global yang bullish.
Laporan tersebut melanjutkan, pola backwardation juga terjadi pada lonjakan permintaan dai China pada tahun lalu. Hal tersebut mengindikasikan laju permintaan pada pasar Spot tembaga melebihi pasokannya seiring dengan jumlah cadangan yang terus menurun.
Kekhawatiran terhadap minimnya pasokan tembaga global juga ditambah dengan kemungkinan pemangkasan produksi yang akan dilakukan pada sejumlah smelter di China. Laporan tersebut menyatakan, jumlah cadangan tembaga pada Shanghai Futures Exchange terpantau pada posisi terendahnya dalam lebih dari 1 dekade terakhir.