Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah emiten tambang yang merambah bisnis nikel dinilai memiliki prospek yang menjanjikan. Sebagai bagian penting dari rantai industri energi berbasis listrik, nikel akan menjadi salah satu penentu bagi kinerja perusahaan di masa depan.
Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani mengatakan kendaraan listrik mulai menjadi tren secara global. Sejumlah negara juga mulai beralih ke energi bersih dari sebelumya energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Di Indonesia, upaya beralih ke energi listrik sedikitnya tergambar dalam program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan. Program tersebut diatur lewat Peraturan Presiden (Perpres) No.55/2019.
"Nikel saya rasa prospeknya bagus, karena di luar EV, saat ini hampir di seluruh dunia pun lagi menggalakan energi bersih dan mulai meninggalkan energi fosil spt batu bara menuju ke energi terbarukan atau energi bersih seperti nikel," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (23/2/2021).
Emiten-emiten dari sektor nikel pun memiliki prospek yang cukup baik sehingga masih menarik untuk dikoleksi dalam jangka panjang.
PT Vale Indonesia Tbk. dan PT Aneka Tambang Tbk. merupakan salah dua emiten nikel di tanah air. Namun, emiten yang sebelumnya menambang batu bara juga mulai melakukan diversifikasi ke nikel seperti PT Harum Energy Tbk dan PT Resources Alam Indonesia Tbk.
Baca Juga
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetyo menuturkan wacana EV Battery Indonesia tidak bisa terwujud dalam waktu instan. Dia mengimbuhkan, ekosistem kendaraan listrik tidak melulu soal produksi baterai, tapi turut melibatkan infrastruktur dan teknologi.
Dia mencontohkan SPKLU yang sudah mulai dikerjakan, baik oleh pemerintah maupun swasta, serta masalah beban puncak listrik jika EV Battery ini sudah ramai di jalan.
Dengan batasan-batasan ini, masyarakat masih memilih mobil berbahan bakar minyak daripada EV Battery dalam waktu dekat ini, apalagi harga unitnya masih tergolong premium. Harganya dari beberapa pabrikan yang sudah mulai meluncurkan produk mobil listrik di Indonesia seperti Toyota, Nissan dan Tesla masih tergolong mahal.
"Juga masalah Tesla yang masih belum menuai kabar pasti, soal kehadirannya di Indonesia. Walaupun begitu, sentimen nikel sebagai salah satu komoditas utama dalam pendukung produksi EV Battery ini, akan tetap terjaga," katanya.
Frankie menilai emiten yang memiliki diversifikasi tambang nikel, bakal tetap terbantu untuk menjaga rasio pendapatannya atau revenue ratio, seperti HRUM, INCO, TINS dan ANTM.
"Namun untuk dapat diperhatikan, bahwa sentimen EV Battery ini tidak serta merta langsung menaikan permintaan nikel emiten-emiten terkait, apalagi tren mobil listrik tergolong masih cukup pelan di Indonesia. Jadi nikel yang dihasilkan masih dominan dijadikan bahan baku stainless steel," ujarnya.
Sektor lain yang layak diperhatikan adalah emiten yang memiliki lini bisnis batubara dan energy. Pasalnya, jika tren mobil listrik sudah memuncak, bakal terjadi pembagian akan kebutuhan energi dari BBM ke listrik.
Saham yang lebih direkomendasi adalah saham-saham penopang ekosistem EV battery ini kelak, yang saat ini masih dalam harga yang terbilang cukup murah. Frankie merekomendasikan beli untuk saham UNTR dengan target 30.000 - 32.000, juga AKRA dengan target 4200 - 4500 dan PTBA dengan target price 3200.