Bisnis.com, JAKARTA - Harga biji kedelai kembali menguat setelah penurunan produksi dan terhambatnya pengiriman dari Brasil. Peluang reli harga yang berkelanjutan pun masih terbuka seiring dengan pasokan yang menurun dan permintaan yang tinggi.
Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (5/1/2020) siang, harga biji kedelai berjangka untuk kontrak Maret 2021 terpantau naik hingga 0,9 persen ke US$13,6675 per bushel. Sebelumnya, harga biji kedelai sempat terkoreksi sebesar 1,1 persen dalam dua hari terakhir.
Kenaikan yang terjadi pada harga biji kedelai ditopang oleh terhambatnya proses panen di negara produsen utama di dunia, Brazil. Data dari AgRural mencatat, proses panen biji kedelai untuk musim 2020/2021 baru mencapai 1,9 persen hingga 28 Januari lalu, atau paling rendah sejak musim 2010/2011.
Laporan dari AgRural juga menyebutkan, faktor cuaca kering yang dihadapi oleh Brazil juga menghambat proses penanaman benih kedelai pada paruh kedua tahun 2020. Di sisi lain, curah hujan tinggi yang melanda Brazil pada Januari 2021 lalu berimbas pada terhambatnya proses panen.
Proses panen dan pengiriman yang terhambat tersebut membuat total ekspor biji kedelai Brazil pada Januari 2021 anjlok menjadi 50 ribu metrik ton. Jumlah tersebut turun 96 persen secara year-on-year (yoy) bila dibandingkan dengan angka ekspor pada Januari 2020 sebanyak 1,4 juta metrik ton.
Laporan tersebut melanjutkan, curah hujan yang tinggi pada Januari lalu membuat sebagian kedelai yang telah ditanam belum matang. Hal tersebut berakibat pada penundaan panen yang lebih lama.
Baca Juga
Terhambatnya pengiriman membuat 18 kapal yang biasanya mengangkut kargo biji kedelai terjebak di pelabuhan Santos, Brazil. Hal ini menimbulkan kehawatiran dari para pemilik kapal terkait biaya kelebihan waktu berlabuh (demurrage).
Ketua Asosiasi Perusahaan Ekportir Brasil (Anec), Sergio Mendes, mengatakan, jumlah kapal yang terjebak menunggu pengiriman biji kedelai saat ini berada di atas perkiraannya.
“Kapal untuk mengirimkan (biji kedelai) sudah tersedia, tetapi kami tidak memiliki biji kedelai yang dapat dikirimkan,” ujarnya.
Mendes mengatakan, meski pengiriman biji kedelai saat ini terhambat, perusahaan eksportir kedelai belum menemui kendala dengan klien-klien dari luar Brazil yang umumnya mengimpor biji kedelai. Ia menambahkan, keterbatasan pasokan yang dialami saat ini diperparah dengan jumlah persediaan biji kedelai yang semakin terbatas.
“Persediaan terbatas karena reli harga pada tahun kemarin sangat menguntungkan ekspor. Tahun ini, kami tidak memiliki stok yang cukup untuk menutupi celah antara proses panen dan pengiriman,” tambahnya.
Proses ekspor yang terhambat ini utamanya dirasakan oleh China yang menjadi importir biji kedelai nomor 1 dunia. Tingginya permintaan dari Negeri Panda sempat melambungkan harga biji kedelai ke level tertingginya dalam enam tahun pada awal 2021.
Adapun, kenaikan permintaan biji kedelai dari China disebabkan oleh upaya pemerintah setempat untuk memulihkan industri peternakan yang terdampak flu babi Afrika beberapa waktu lalu. Para peternak di China menggunakan biji kedelai sebagai salah satu pakan ternak.
Vice President Price Futures Group Jack Scoville mengatakan, saat ini tingkat permintaan biji kedelai memang sedang tinggi baik untuk ekspor atau kebutuhan domestik. Hal ini membuat potensi kekurangan stok biji kedelai menjadi cukup terbuka seiring dengan proses penanaman dan panen yang terhambat di Brasil.
“Amerika Serikat sebagai eksportir biji kedelai kedua terbesar di dunia bahkan bisa berpotensi kehabisan pasokan biji kedelai untuk diekspor,” katanya dikutip dari Bloomberg.
Di sisi lain, curah hujan tinggi yang dialami beberapa wilayah di Brazil akan berimbas pada kenaikan jumlah panen untuk tahun ini. Presiden Soybean and Corn Advisor Michael Cordonnier dalam laporannya menyebutkan total panen biji kedelai Brazil untuk tahun 2021 sebesar 130 juta ton, atau naik 1 juta ton dari estimasi sebelumnya.
Cordonnier menjelaskan kenaikan jumlah panen disebabkan oleh cuaca hujan yang akan diterima oleh sejumlah wilayah penghasil biji kedelai di Brasil. Daerah Rio Grande do Sul dan wilayah timur laut Brazil diperkirakan akan menerima hujan dalam beberapa waktu mendatang.
“Cuaca ini akan menguntungkan bagi tanaman kedelai yang sudah mendekati kematangan,” jelasnya dalam laporan tersebut.
Secara terpisah, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi. Ia mengatakan, lonjakan permintaan biji kedelai dari China salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada masa perayaan Tahun Baru Imlek pekan depan.
Ibrahim menambahkan, terhambatnya produksi tidak hanya terjadi di wilayah Amerika Selatan, tetapi juga di Amerika Serikat. Hal tersebut terjadi seiring dengan musim dingin berkepanjangan yang terjadi pada Negeri Paman Sam tersebut.
“Musim dingin yang terjadi membuat proses penanaman kedelai di Amerika Serikat tidak mungkin dilakukan,” jelasnya.
Di sisi lain, pandemi virus corona yang memburuk juga turut berperan dalam kenaikan harga kedelai. Ia menjelaskan, pandemi yang memburuk membuat beberapa negara kembali melakukan lockdown. Hal ini berimbas pada terhambatnya pengiriman komoditas, termasuk kedelai.
“Selain itu, masyarakat juga cenderung menimbun produk-produk terkait kedelai untuk berbagai keperluan seperti memasak karena lockdown membuat mereka harus berdiam di rumah,” lanjutnya.
Kedepannya, Ibrahim mengatakan peluang penguatan harga biji kedelai masih cukup terbuka. Salah satu faktor penopang utama adalah pembahasan paket stimulus fiskal senilai US$1,9 triliun di Amerika Serikat.
Ibrahim menjelaskan, apabila paket stimulus tersebut diloloskan oleh Senat AS, tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat. Hal ini karena masyarakat akan menerima bantuan tunai senilai US$2.000 per orang yang akan berimbas pada pemulihan daya beli masyarakat.
Ibrahim memperkirakan, tren penguatan harga kedelai akan berlanjut sepanjang kuartal I/2021 seiring dengan terbatasnya pasokan global dan prospek paket stimulus fiskal dari AS. Ia memprediksi harga kedelai berada di kisaran US$13,7110 hingga US$13,7135 hingga kuartal I tahun ini.
Sementara itu, analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, prospek harga biji kedelai masih cukup baik pada tahun ini. Hal tersebut didukung oleh terjaganya permintaan China terhadap komoditas ini.
"Peternak di China masih sangat membutuhkan kedelai untuk makanan ternaknya," katanya.
Ia melanjutkan, faktor cuaca di sejumlah negara produsen kedelai juga akan menentukan pergerakan harga kedelai. Kondisi sejumlah negara produsen seperti Brasil dan Argentina yang terdampak siklus cuaca La Nina kemungkinan akan menghambat proses panen raya kedelai meski cuaca di wilayah tersebut mulai kondusif untuk tanaman kedelai.
Tersendatnya panen kedelai akan menyebabkan terjadinya penurunan persediaan komoditas ini di pasar global. Padahal, tingkat permintaan pasar terhadap kedelai saat ini masih cukup tinggi. Hal ini juga ditambah dengan minimnya kegiatan distribusi akibat pandemi virus corona yang membuat sejumlah negara memberlakukan lockdown.
Wahyu mengatakan, pada kuartal I/2021, harga kedelai akan berada di level US$11 hingga US$15 per bushel.