Bisnis.com, JAKARTA - Fenomena auto reject bawah (ARB) pada sejumlah saham mewarnai dunia pasar modal di awal tahun 2021. Hal ini berbarengan dengan tren investasi dari kalangan ritel yang disebut melesat tajam.
Mengacu ke data Bursa Efek Indonesia (BEI), per 29 Desember 2020 saja, jumlah investor pasar modal sudah mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID) atau tumbuh 56 persen dari posisi akhir 2019. Dari jumlah itu, investor saham melonjak 53 persen menjadi 1,68 juta SID.
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi, ketika berbicara dalam sebuah acara yang digelar KBRI Singapura pada pekan lalu, bahkan mengungkapkan bahwa jumlah investor kini sudah menembus 4 juta. Menurutnya, ini adalah hal yang luar biasa karena pada 2016, jumlahnya masih di bawah 1 juta.
Adapun investor aktif ritel naik 4 kali lipat sepanjang tahun lalu. Per Januari 2020, rata-rata frekuensi transaksi harian investor ritel sekitar 51.000, sedangkan per Desember 2020 angka rata-ratanya meningkat menjadi sekitar 206.000 transaksi.
“Kita lihat ritel mencapai frekuensi tertinggi di Desember 2020, peak-nya secara rata-rata di 22 Desember 2020 adalah 1,6 juta. Kalau kita lihat hari-hati ini tercengang lagi karena sudah sampai 2 juta,” jelasnya
Aktivitas investor ritel yang massif berimbas pada kenaikan sejumlah saham, dipicu sejumlah sentimen positif yang mewarnai pasar. Bahkan, para figur publik dan juga influencer turut mengunggah informasi yang cenderung bersifat mengajak atau rekomendasi saham. Sontak, investasi saham menjadi naik daun.
Popularitas saham yang kian menjulang tidak sedikit membuat investor ritel kepincut. Guna mengejar cuan, tidak sedikit juga investor menggunakan dana panas atau dari pinjaman untuk modal trading saham.
Tentu, itu sesuatu yang berisiko. Nasib buruk bakal menimpa bila saham malah amblas sementara modal trading harus dibayar lunas. Mari tengok pergerakan saham farmasi yang lumayan bikin banyak investor gigit jari.
Lima saham terkait farmasi mengalami lonjakan di atas 50 persen dalam periode 4 Januari hingga 12 Januari 2021. Setelah vaksinasi Covid-19 perdana dimulai 13 Januari 2021, saham-saham farmasi berguguran. Bahkan saham PT Indofarma Tbk, saham PT Kimia Farma Tbk, dan PT Pyridam Farma Tbk, konsisten ditutup melemah hingga hari ini. Di setiap sesi, saham-saham tersebut hampir atau sudah terkena ARB.
Analis CSA Research Institute Reza Priyambada menuturkan ARB merupakan kejadian saham suatu emiten mengalami penurunan hingga batas bawah, umumnya secara aturan saat ini maksimal mengalami penurunan hingga 7 persen.
Namun, sangat mungkin ARB terjadi sebelum mencapai penurunan 7 persen. Biasanya, ketika saham-saham sudah turun di atas 6 persen dan jika terjadi penurunan lebih lanjut akan melewati ambang batas 7 persen tersebut, saham tersebut harus berhenti dari perdagangan lebih awal.
Reza melanjutkan, imbas sentimen yang kurang baik di pasar juga memungkinkan terjadinya aksi jual berjamaah dari investor yang menyebabkan terjadinya ARB.
"Imbas dari sentimen yang kurang baik di pasar juga dimungkinkan sehingga terjadi aksi jual, baik oleh investor yakni pemegang saham itu sendiri atau bisa juga karena adanya forced sell," ujarnya kepada Bisnis, Senin (25/1/2021).
Forced sell terjadi karena adanya order jual paksa dari sekuritas terhadap saham milik nasabah karena sudah tenggat waktunya untuk penyelesaian atau settlement.
Seperti namanya, forced sell merupakan kebijakan jual paksa dari sekuritas atas saham yang dimiliki nasabahnya. Langkah ini dilakukan ketika nasabah tidak menyelesaikan kewajibannya kepada sekuritas terkait pembelian saham meskipun sudah mencapai masa jatuh tempo T+4 (transaksi plus 4 hari).
Saham di portofolio nasabah dijual sesuai besaran kewajiban, alias dana yang diberikan oleh sekuritas kepada nasabah setelah trading limit terpenuhi, nasabah terkait. Sebagaimana diketahui, forced sell merupakan mekanisme yang legal dan sudah sesuai ketentuan.
Reza menyarankan agar investor ritel memperhatikan benar-benar kecukupan dananya ketika membeli suatu saham, termasuk kecukupan dana untuk melakukan transaksi dan biaya yang harus diberikan kepada sekuritas.
"Untuk mencegah terjadinya forced sell ya, sebaiknya dari nasabah itu sendiri dimana pada saat order memperhatikan kecukupan dana untuk melakukan transaksi. Terlebih jika mereka menggunakan margin, maka harus diperhatikan waktu settlement-nya," katanya.
Baca Juga : Mengenal Margin Trading Saham |
---|
Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Suria Dharma memperkirakan fenomena ARB yang saat ini terjadi akibat dari kebijakan margin call karena investor ritel banyak memanfaatkan skema ini untuk pendanaan.
"Itu diperkirakan karena margin call, karena pada saat harga naik kemungkinan banyak investor yang memakai pendanaan dengan margin," katanya kepada Bisnis.
Margin call adalah likuidasi atau penutupan secara paksa atas trading yang sedang berlangsung dan dilakukan oleh broker karena margin di rekening nasabah atau investor tidak cukup untuk menutupi atau menahan posisi trading yang merugi.
Dengan demikian, ketika terjadi ARB pada saham-saham tertentu, investor pemilik saham tersebut tidak bisa menjual sahamnya pada saat margin call terjadi. Hal ini menyebabkan mereka harus menjual saham-saham lainnya di portofolio mereka.
"Forced sell akhirnya dilakukan karena penurunan sudah melebihi ketentuan margin, sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki dana untuk top up," katanya.
Peristiwa forced sell, margin call, hingga ARB ini terjadi sebagai dampak dari euforia tumbuhnya investor ritel. Seiring gegap gempita dunia investasi saham, banyak investor yang tidak benar-benar memahami cara berinvestasi saham.