Bisnis.com, JAKARTA — Pendakwah Yusuf Mansur memberikan respons terkait maraknya investor yang menderita kerugian, bahkan terlilit utang setelah bermain saham.
Dalam salah satu unggahan terbaru di akun Instagram-nya, @yusufmansurnew, Yusuf mengaku baru tahu bahwa banyak pengikutnya yang berutang untuk membeli saham, termasuk menggadaikan kendaraan dan meminjam dari platform pinjaman online (pinjol).
“Geber 1000 shalawat sehari buat yang punya utang dan rilekskan diri. Banyak istighfar. Istighfarnya 1000 juga aja sehari, plus tasbihnya 1000. Sucikan Allah dari perbuatan kita yang salah,” tulis Yusuf, seperti dikutip Bisnis, Selasa (19/1/2021)
Dia pun mengingatkan para pengikutnya untuk tak mengulangi tindakan tersebut. Yusuf mengatakan sebaiknya jika ingin berkecimpung di saham dilakukan secara bertahap dan menggunakan dana yang telah ada.
“Buat kawan-kawan, bertahap aja maen saham. Dari dana yang ada. Kalau jual-jual, cakep. Jual aset tidur dan nganggur. Tapi jamin-jaminkan, jangan. Sebab ada bunga. Jangan sampai,” tambah Yusuf.
Tidak hanya itu, Yusuf turut mengomentari investor-investor yang dananya 'nyangkut' di saham-saham tertentu. Menurutnya, itu menjadi pengalaman bermain saham dan hanya menganjurkan para pengikutnya untuk berdoa dan bertahan.
“Makanya saya ngajarin to own. saya ngajarin to own. Buat memiliki. Jangka panjang. Long term. Kayak nabung saham. Kalo jangka panjang sih, relatif aman. Kerjaannya, beli beli aja. Tahan. Untuk memiliki,” tulisnya lagi.
Nama Yusuf Mansur belakangan ini ramai berseliweran di dunia Pasar Modal. Pria yang terkenal dengan mansurmology-nya itu kerap memberi tahu saham pilihannya dan mengajak para pengikutnya untuk turut berinvestasi.
Tak hanya Yusuf Mansur, beberapa tokoh publik lain juga kerap berlaku serupa, sebut saja putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, serta pesohor Raffi Ahmad dan penyanyi Ari Lasso.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan para pesohor yang memberikan 'rekomendasi' sahamnya kepada publik sebaiknya terbuka dan turut menginformasikan posisinya di saham emiten tersebut.
Pasalnya, sikap para pesohor yang mengajak para pengikutnya untuk membeli saham-saham tertentu ini lekat dengan konflik kepentingan dan rentan merugikan para investor khususnya yang masih awam.
Ilustrasi sederhana, tutur Budi, seorang influencer memiliki sekian lot saham A, kemudian dia memberikan rekomendasi kepada para pengikutnya. Alhasil, saham tersebut menjadi incaran banyak orang dan secara otomatis harganya naik, sehingga si pemberi rekomendasi dapat melepas bagian miliknya di harga yang tinggi.
Budi menekankan investor harus bisa kritis terhadap para pompom tersebut agar tidak sekadar dimanfaatkan oleh para influencer ini untuk kepentingan mereka sendiri.
“Coba tanya posisi dia bagaimana? Punya apa tidak? Punya berapa banyak dan di harga rata-rata berapa? Karena para pompom ini banyak membeli lebih dulu, lalu provokasi orang untuk beli supaya dia bisa keluar dan punya keuntungan. Lalu dia kembali posting, saya untung sekian,” ujar Budi belum lama ini.
Lebih lanjut, Budi mengatakan otoritas Bursa memang tak perlu sampai memberikan larangan bagi para pemberi rekomendasi ini. Namun, otoritas dapat mendesak transparansi si pemberi rekomendasi ini untuk turut menginformasikan posisinya atas saham tersebut.
“Wajibkan disclose, saat dia merekomendasikan saham ini bagaimana? Karena pompom ini benar-benar memanfaatkan kebodohan investor ritel yang dananya terbatas, pengetahuannya terbatas, tidak mau belajar dan tidak cari tahu lebih dalam,” tutur Budi.
Budi menyebut tren pompom saham yang dilakukan sejumlah 'influencer' melalui platform media sosial sangat berkaitan dengan maraknya investor yang kini terjebak kerugian di saham bahkan terlilit utang.
Menurutnya, mayoritas pengikut para tokoh pesohor yang awam mengenai pasar saham tentu tergiur ketika mendengar potensi keuntungan yang diceritakan dan langsung memercayai rekomendasi tersebut tanpa mempelajarinya lebih lanjut.
Baca Juga
Lantas mereka terburu-buru masuk pasar saham menggunakan dana yang tak semestinya.
"Mereka tidak sadar saham-saham yang direkomendasikan itu saham-saham yang sudah mahal dan yang merekomendasikan itu tentu punya kepentingan, punya motif,” pungkas Budi.