Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah emiten tengah berhadapan proses hukum atas kasus yang menyeret masing-masing perseroan. Bagaimana kasus-kasus ini mempengaruhi kinerja saham emiten?
Salah satu emiten yang berada dalam proses pengadilan adalah PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR). Perusahaan consumer goods ini tersandung gugatan yang dilayangkan Harwood Private Limited terkait produk pasta gigi bermerek “Strong”.
Dalam surat bertanggal Kamis (14/1/2021) kepada PT Bursa Efek Indonesia, UNVR Direktur dan Sekretaris Perusahaan Unilever Indonesia Reski Damayanti menjelaskan bahwa kasus tersebut masih dalam proses kasasi.
Kasus ini telah bergulir sejak 2019 lalu. Tercatat pada 29 Mei 2020 silam, PN Jakpus mengabulkan gugatan penggugat dengan menyatakan merek Strong merupakan milik penggugat. UNVR kemudian mengajukan kasasi sehingga kasus ini masih terus bergulir.
Reski menegaskan selain belum berkekuatan hukum tetap, pihaknya berpandangan bahwa perkara ini tidak memiliki dampak material terhadap kegiatan operasional, hukum, keuangan, harga saham, dan/atau kelangsungan usaha Unilever Indonesia.
Tercatat, pada penutupan pasar Jumat (15/1/2021), saham UNVR berada di level 6.925 setelah melemah 1,07 persen dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Secara year to date UNVR telah terkoreksi 15,34 persen.
Adapun jika ditarik lebih jauh, selama 6 bulan terakhir kinerja saham produsen pasta gigi Pepsodent ini juga kebakaran, dengan koreksi 11,22 persen, dan selama 1 tahun terakhir harga sahamnya turun 30,09 persen.
Emiten konstruksi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA) juga belum bebas dari berurusan dengan penegak hukum. Perusahaan pelat merah itu masih terjerat kasus korupsi yang bergulir sejak 2015.
Paling baru, Kamis (14/1/2021), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito sebagai saksi untuk tersangka I Ketut Suarbawa yang sebelumnya adalah Manajer Divisi Operasi I Wijaya Karya.
I Ketut Suarbawa sendiri telah ditahan oleh KPK karena resmi menjadi tersangka kasus korupsi Pembangunan Jembatan Waterfront City Tahun Anggaran 2015-2016 di Kabupaten Kampar, Riau.
Berita pemanggilan bos WIKA oleh KPK tampaknya tak berpengaruh terhadap pergerakan saham WIKA di akhir pekan ini. Per penutupan Jumat (15/1/2021), saham WIKA malah melesat 10,80 persen ke level 2360.
Emiten pelat merah lainnya, PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) juga tengah terbelit persoalan sengketa pajak. Perseroan berpotensi membayar kewajiban pokok senilai Rp3,06 triliun ditambah potensi denda setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dari pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Hampir bersamaan, awal tahun ini perusahaan pemeringkat Moody’s Investor Service yang memangkas peringkat perusahaan dan surat utang anak usaha PGAS, PT Saka Energi Indonesia (SEI), dari B1 jadi B2. Salah satu pemicu penurunan rapor ini adalah Moody’s memandang negatif kasus sengketa pajak yang tengah dialami PGAS.
Saham PGAS pun terpantau bergerak variatif. Pada penutupan perdagangan Jumat (15/1/2021) PGAS ditutup melemah 1,93 persen, padahal sesi perdagangan sebelumnya PGAS melambung 12,07 persen.
Secara year to date, kinerja saham emiten energi pelat merah ini masih negatif 16,67 persen. Namun, jika dilihat lebih jauh, enam bulan terakhir harga PGAS menguat 56,39 persen dan setahun terakhir 5,97 persen.
Selanjutnya, nama PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK) juga sempat terseret ke ranah hukum. Berbeda dengan kasus-kasus yang membelit tiga emiten sebelumnya yang merupakan perkara lama, kasus yang dikaitkan dengan LPCK terbilang baru.
Belum lama ini viral di media sosial mengenai kegiatan operasional Lippo Waterboom Cikarang yang menyalahi protokol kesehatan. Kejadian tersebut diduga dipicu oleh diskon tiket yang diberikan oleh pengelola.
Alhasil, Polda Metro Jaya menetapkan General Manager Waterboom Lippo Cikarang Ike Patricia dan Manager Marketing Waterboom Lippo Cikarang Dewi Nawang Sari sebagai tersangka terkait perkara tindak pidana pelanggaran protokol kesehatan.
Menyusul, manajemen PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK) akhirnya turut memberikan penjelasan terkait kasus tersebut.
Dalam suratnya ke Bursa Efek Indonesia pada Kamis (14/1/2021), manajemen LPCK menjelaskan Waterboom bukan merupakan unit usaha Lippo Cikarang, tetapi dikelola secara mandiri oleh anak usaha perseroan dengan kendali penuh dari PT Tirta Loka Sentosa.
Tirta Loka Sentosa merupakan manajemen Waterboom. Adapun, PT Tirta Loka Sentosa menyatakan pihaknya sepenuhnya bertanggung jawab, serta telah memenuhi panggilan kepolisian dan memberikan keterangan yang diperlukan.
Meski ternyata tak berkaitan langsung dengan kasus tersebut, pergerakan harga saham perseroan terpantau loyo. Pada akhir perdagangan Jumat (15/1/2021) ini, saham LPCK ditutup melemah 1,15 persen ke level 1295. Namun, secara year to date masih menguat 28,22 persen.