Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Asia menguat mengikuti bursa saham di Amerika Serikat pada perdagangan Jumat (8/1/2021) karena lonjakan saham teknologi dan harapan lebih banyak stimulus.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang ditutup menguat masing-masing 1,57 persen dan 2,36 persen, indeks Kospi menguat 3,97 persen, dan indeks Hang Seng naik 1 persen.
Di sisi lain, indeks Shanghai Composite dan CSI 300 China melemah masing-masing 0,17 persen dan 0,33 persen.
Indeks menguat tengah permintaan saham yang terkait dengan kendaraan listrik dan semikonduktor. Sementara indeks Kospi naik didorong oleh reli saham Samsung Electronics Co. yang menyentuh rekor tertinggi.
Sementara itu, bursa Hong Kong menguat mengatasi keputusan MSCI Inc. untuk menghapus tiga perusahaan telekomunikasi besar China dari indeks patokannya.
Kontrak berjangka AS naik setelah semua indeks ekuitas utama mencatat rekor, dengan sekitar 70 persen emiten di S&P 500 berada di zona hijau dan Nasdaq 100 melonjak 2,5 persen.
Sehari setelah kekerasan mengguncang Capitol AS, investor bertaruh kendali Demokrat atas Senat akan membuka jalan bagi Presiden terpilih Joe Biden untuk menerapkan lebih banyak langkah untuk melawan dampak ekonomi dari pandemi.
Saat berkampanye di Georgia sebelum pemilihan anggota Senat putaran kedua, ia bersumpah bahwa stimulus individu senilai US$2.000 akan dikirim segera jika partainya memenangkan negara bagian.
Sementara itu, Presiden Donald Trump berjanji pada Kamis untuk melanjutkan transisi kekuasaan yang mulus dan mengutuk kerusuhan sebelumnya, yang terjadi setelah dia mendesak para pendukungnya yang marah untuk mengambil tindakan.
Trump berada di bawah tekanan dari beberapa anggota Partai Republik serta Demokrat dan dari dalam pemerintahannya sendiri. Sejumlah pejabat tinggi juga mengumumkan pengunduran diri.
“Politik memainkan peran kedua setelah fundamental ekonomi dan perusahaan dalam hal menetapkan harga aset. Masa depan ekonomi negara setelah pandemi tetap menjanjikan," ungkap co-founder DataTrek Research Nick Colas, seperti dikutip Bloomberg.