Bisnis.com, JAKARTA – Harga biji kedelai berbalik mengalami tren pelemahan setelah sempat melambung ke level tertinggi dalam enam tahun. Meski demikian, koreksi harga bahan baku tahu dan tempe itu dinilai bersifat sementara karena tingkat permintaan masih terjaga.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (26/11/2020), harga biji kedelai sempat menyentuh level tertingginya dalam enam tahun pada awal pekan ini di level US$12 per bushel atau gantang (27,21 kilogram).
Kenaikan harga terjadi karena pelaku pasar khawatir terhadap siklus cuaca La Nina. Fenomena cuaca La Nina dinilai akan menghambat pasokan kedelai sementara permintaan bakal melonjak pada tahun depan, terutama dari China.
Namun, dalam dua hari terakhir, harga biji kedelai mulai menunjukkan tren pelemahan. Hingga Kamis (26/11/2020) siang, harga biji kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) terpantau telah terkoreksi 0,61 persen ke level US$11,84 per bushel. Meski demikian, secara year to date, harga kedelai telah melesat 25,56 persen.
Salah satu faktor utama terjadinya penurunan harga adalah cuaca yang terjadi pada negara-negara penghasil biji kedelai, seperti Argentina. Cuaca di negeri Perak tersebut kemungkinan akan mengalami hujan deras dalam seminggu ke depan.
“Cuaca yang akan dialami Argentina semakin menambah sentimen bearish pada pasar biji kedelai global,” ujar analis komoditas Futures International, Terry Reilly dikutip dari Bloomberg.
Berbeda dengan Argentina, Brazil diperkirakan akan terus dilanda kekeringan dalam beberapa waktu ke depan. Cuaca ini terutama akan mempengaruhi wilayah selatan negara penghasil biji kedelai terbesar di dunia tersebut.
Analis EFG Group LLC Tom Fritz mengatakan, pasar biji kedelai cenderung mengalami aksi profit taking dari para pelaku saat mendekati level US$12 per bushel. Meski demikian, ia optimistis level harga tersebut masih terus dapat diuji hingga akhir tahun.
“Sentimen perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat juga membuat pasar biji kedelai cenderung fluktuatif pada pekan ini,”ujarnya.