Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah masih berlangsungnya pandemi Covid-19 di dunia, hampir seluruh harga komoditas utama dunia membaik pada kuartal III/2020, termasuk minyak mentah.
Awalnya, harga minyak mentah termasuk yang terbanting paling kuat akibat pandemi Covid-19 pada kuartal II/2020. Hal itu pun mendorong Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) dan sekutunya memangkas produksi.
Namun, dalam laporan terbarunya, Ekonom Bank Dunia John Baffes dan Peter Nagle menyebutkan saat ini harga minyak sudah naik dua kali lipat dari titik terendahnya pada April 2020.
“[Pemulihan harga] didukung oleh pemangkasan produksi secara besar-besaran walaupun saat ini harga bertahan di level sepertiga terendah dibandingkan masa prapandemi,” tulis Baffes dan Nagle, seperti dikutip pada Minggu (25/10/2020).
Mengutip Bloomberg, pada akhir pekan lalu harga minyak Brent di bursa ICE untuk kontrak pengiriman Desember 2020 ditutup melemah 1,63 persen menjadi US$41,77 per barel.
Harga minyak Brent sempat menyentuh titik terendahnya pada 21 April 2020 senilai US$19,33 per barel.
Baca Juga
Sementara itu, harga minyak WTI di Bursa New York Merchantille Exchange turun 1,94 persen menjadi US$39,85 per barel.
Sejak menyentuh minus US$37,63 per barel pada 20 April 2020, harga minyak WTI sudah melesat lebih dari 200 persen.
Adapun, pelemahan harga minyak baru-baru ini disebabkan oleh ancaman Libya yang akan meningkatkan produksi padahal permintaan masih terganggu pandemi.
Berdasarkan data National Oil Corp. yang dijalankan Pemerintah Libya, kenaikan produksi minyak di Ras Lanuf dan Es Sider tak terelakkan dan akan melewati 1 juta barel per hari dalam empat pekan.
Peningkatan produksi minyak di Libya merupakan dampak dari perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani baru-baru ini. Perjanjian tersebut membuat sejumlah kilang minyak di Libya dibuka kembali setelah sempat ditutup karena konflik antarnegara.
Kenaikan produksi Libya semakin menekan harga minyak mentah yang kian melemah pada saat perundingan stimulus fiskal di AS tak kunjung menemukan titik terang.
Padahal, stimulus di AS tersebut diperkirakan dapat menopang permintaan untuk sementara dan menjadi katalis positif untuk pasar minyak menjelang akhir tahun.
Partner Again Capital LLC. John Kilduff menyampaikan gencatan senjata di Libya akan mendorong produksi dalam beberapa waktu ke depan.
“Sementara kondisi Covid-19 tidak juga membaik dan malah memburuk. Jadi, kita akan menerima apapun yang terjadi,” ujar Kinduff.
Di sisi lain, komentar Presiden Rusia Vlamdimir Putin yang memberikan sinyal bakal menunda rencana kenaikan produksi minyak OPEC+ tak banyak membantu. Orang nomor satu di Rusia itu menyampaikan produksi berlebih dari Libya semakin menyulitkan upaya tapering OPEC+.
CEO InfraCap Jay Hatfield mengatakan tidak ada yang bisa dilakukan sebelum vaksin Covid-19 ditemukan.
“Kita butuh industri penerbangan dan kita belum akan terbang sebelum menggunakan vaksin,” kata Hatfield.
Ke depannya, fokus pelaku pasar berganti ke Pemilu AS yang akan dihelat pada November. Adapun, Calon Presiden AS Joe Biden mengatakan bahan bakar fosil perlu dikurangi secara bertahap.
Komentar Biden membuat Presiden AS Donald Trump menudingnya karena industri minyak dapat terganggu.
“[Komentar Biden] tidak mengkhawatirkan pelaku pasar dalam waktu dekat. Transisinya perlu beberapa tahun dan dalam prosesnya tetap memerlukan bahan bakar fosil,” kata Commodity Strategist TD Securities Bart Melek.