Bisnis.com, JAKARTA - Ruang harga timah untuk bergerak lebih tinggi masih terbuka cukup lebar seiring dengan dua sentimen fundamental prospek permintaan dan pasokan saling mendukung.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (11/9/2020) harga timah di bursa London menguat 0,57 persen ke level US$18.102 per ton. Harga logam dasar itu telah naik 36,6 persen dari level terendahnya pada tahun ini di kisaran US$13.250 per ton.
Adapun, pada 2 September 2020 harga timah sempat menyentuh level tertinggi sejak Juli 2019 di kisaran level US$18.348 per ton. Sementara itu, sepanjang tahun berjalan 2020 harga timah berada di zona hijau, bergerak naik 5,3 persen.
Market Analyst International Tin Association James Willoughby mengatakan bahwa permintaan timah olahan oleh salah satu konsumen utama timah dunia, China, telah pulih signifikan sejak awal 2020.
“Pelemahan permintaan yang biasa terjadi akibat festival musim semi China dan tekanan pandemi Covid-19 berhasil dibatasi dengan ekonomi China yang kembali bergerak dan janji stimulus pemerintah untuk berinvestasi di sektor infrastruktur jaringan,” tulis Willoughby dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (11/9/2020).
Dia juga menjelaskan, beberapa produsen solder China telah menunjukkan pertumbuhan permintaan secara tahunan dalam beberapa bulan terakhir. Belum lagi, pemeliharaan smelter dan pasokan bahan baku yang ketat di China membuat Negeri Panda itu diyakini akan meningkatkan impor timahnya di sisa tahun ini.
Baca Juga
Berdasarkan data resmi Bea Cukai China, jumlah impor timah olahan pada Juli sebesar 2.750 ton, meningkat enam kali lipat periode yang sama tahun 2019.
Dengan demikian, impor timah olahan China sepanjang enam bulan pertama tahun sebesar 12.113 ton atau sebelas kali lebih tinggi daripada periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, pasokan timah global diyakini juga akan mengalami banyak tekanan sehingga akan semakin menopang harga.
James menjelaskan, kombinasi penerapan lockdown di beberapa negara terkait Covid-19 dan pengurangan produksi oleh perusahaan produsen timah terbesar dunia, PT Timah Tbk. menyebabkan produksi timah olahan dunia diproyeksi turun sekitar 14 persen pada semester I/2020.
Untuk diketahui, pada Maret lalu emiten berkode saham TINS itu mengatakan bahwa akan memangkas produksinya sekitar 30 persen pada tahun ini.
Sementara itu, pengiriman timah dari Myanmar diprediksi turun pada September 2020 seiring dengan banjir yang telah merendah seluruh kawasan tambang di wilayah Wa. Operasional tambang itu pun diperkirakan baru kembali beroperasi normal pada Oktober 2020.
“Oleh karena itu, kami ekspektasikan pengiriman timah Myanmar ke China pada September dan Oktober bisa turun hanya menjadi sebesar 1.500 ton tic per bulan,” papar James.
Namun, dengan sebagian besar pabrik pelebur, tidak termasuk EM Vinto di Bolivia, kembali ke produksi penuh setelah sempat terhambat akibat Covid-19, produksi timah global kemungkinan akan lebih tinggi pada paruh kedua tahun ini.