Bisnis.com, JAKARTA — Emas dinilai dapat menjadi “mata uang alternatif” paling potensial saat ini seiring dengan tren penguatan harga yang tak menunjukkan tanda-tanda jenuh.
Co-chief Investment Officer sekaligus Senior Portfolio Manajer Skybridge Capital Troy Gayeski menilai emas akan terus memperpanjang rekor relinya di tengah momentum penurunan nilai mata uang besar-besaran dan guyuran stimulus lebih lanjut.
“Kalau Anda berpikir apa yang akan melemahkan dolar, sulit mencari mata uang lain yang potensial. Jadi jelas sekali emas adalah mata uang alternatif paling potensial,” ungkapnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (20/8/2020).
Adapun mata uang yang dia maksud termasuk euro, yuan, dan mata uang di negara-negara berkembang. Baru-baru ini pihaknya pun kembali menambahkan eksposur pada emas, pertama kalinya sejak 2011 silam.
Emas dinilai “cukup kaya” jika dibandingkan minyak maupun komoditas lainnya. Di sisi lain, Gayeski menyebut emas belum terapresiasi sebanyak pertumbuhan pasokan uang sejak puncaknya sebelumnya pada September 2011.
“Kami tidak akan terkejut jika pada akhir tahun depan, harganya bisa berkisar antara US$2.100 hingga US$2.200,”
Baca Juga
Seperti diketahui, emas terus menembus rekornya di atas US$2.000 per troy ounce di awal bulan ini, meski sejak itu sempat mengalami naik-turun akibat Bank Sentral AS mengeluarkan stimulus besar-besaran untuk menyokong ekonomi yang terpuruk akibat pandemi.
Harga emas spot mencapai level tertinggi sepanjang masa di US$2.075,47 per ounce pada 7 Agustus karena dolar melemah dan suku bunga riil turun jauh di bawah nol. Pada hari Kamis itu naik 1,1 persen menjadi US$1.950, naik hampir 29 persen tahun ini.
Harga mereda pertengahan minggu setelah risalah dari Fed menunjukkan itu menjauh dari langkah yang akan menggarisbawahi komitmen untuk periode kebijakan ultra-longgar yang diperpanjang.
"Pada akhirnya, apa yang akan menyokong harga emas adalah jika Anda mengalami penurunan nilai mata uang yang sangat besar, terutama di AS," tukas Gayeski.