Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue dinilai masih sulit terserap apabila dieksekusi dalam waktu dekat ini.
Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali mengatakan penggalangan dana dari publik pada masa pandemi ini cenderung kurang menarik karena investor banyak yang wait and see.
“Atau cenderung pandangannya jangka pendek,” kata Frederik kepada Bisnis, Rabu (5/8/2020).
Posisi investor yang masih wait and see dan kondisi pasar saham yang tertekan sejak awal tahun telah membuat total penggalangan dana di pasar modal jauh berkurang dibandingkan tahun lalu.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat per 28 Juli 2020, total nilai Penawaran Umum Terbatas lewat rights issue sejak awal tahun turun 62,89 persen secara year-on-year (yoy) menjadi Rp9,52 triliun dari 8 penawaran.
Adapun, pada periode Januari—Juli 2019 nilai total PUT tercatat sebesar Rp25,66 triliun dari 12 penawaran.
Baca Juga
Secara keseluruhan penggalangan dana di pasar modal sejak awal tahun juga turun 50,42 persen yoy menjadi Rp54,13 triliun yang berasal dari 73 penawaran umum dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp109,18 triliun dari 94 penawaran umum.
Namun demikian, Frederik mengatakan penggalangan dana melalui opsi rights issue tentunya didasari oleh alasan masing-masing perusahaan.
Misalnya bagi perusahaan yang memiliki posisi debt to equity ratio (DER) yang sudah tinggi. Dengan melakukan aksi rights issue, nantinya shareholder akan mendapat injeksi dana yang dapat meningkatkan posisi ekuitas perusahaan.
“Sehingga DER turun dan memungkinkan untuk mencari utang lagi yang tujuannya untuk memiliki posisi kas sehingga perusahaan dapat bertahan lebih lama,” ujar Frederik.
Selain itu, opsi rights issue juga bisa diambil ketika ada mitra bisnis baru yang ingin berinvestasi di perusahaan tersebut. Setelah penerbitan righst, bisa saja perusahaan tersebut menjadi mitra operasional dari bisnis si investor di Indonesia.