Bisnis.com, JAKARTA — Paruh kedua tahun ini menjadi momentum bagi para manajer investasi untuk menerbitkan reksa dana terproteksi. Minat investor pun dinilai masih tinggi karena imbal hasil yang ditawarkan lebih bersaing.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sepanjang 3 Juni hingga 28 Juli 2020, reksa dana terproteksi mendominasi jenis reksa dana yang ada dalam pendaftaran produk investasi di KSEI yakni 23 produk.
Kemudian selanjutnya ada reksa dana pasar uang dengan jumlah pendaftaran sebanyak 9 produk, reksa dana pendapatan tetap 4 produk, reksa dana saham 4 produk, dan reksa dana exchange trade fund (ETF) 1 produk.
Produk reksa dana terproteksi sendiri merupakan produk dengan kue paling besar di pasar reksa dana. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan per 30 Juni 2020, reksa dana terproteksi menyumbang 30,67 persen dari total nilai aktiva bersih industri atau sekitar Rp147,99 triliun.
Head of Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan penerbitan reksa dana terproteksi memang meningkat sejak Mei dan Juni 2020 seiring dengan mulai banyaknya emiten yang menerbitkan surat utang di tengah momentum pemulihan pasar.
Menurutnya, emiten penerbit obligasi berani kembali masuk ke pasar setelah menahan diri akibat tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Di sisi lain, yield mulai kembali stabil dan ada pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia.
Baca Juga
“Jadi sepanjang MI bisa menemukan emiten yang fundamentalnya dirasa baik, dengan rating baik, ini memang akan semakin banyak [penerbitan reksa dana terproteksi],” ujarnya kepada Bisnis.
Lebih lanjut, Wawan menilai minat investor akan reksa dana jenis ini masih akan tinggi meski sempat ada bayang-bayang penurunan rating obligasi korporasi dan risiko default akibat terdampak pandemi.
Pasalnya, kupon yang ditawarkan obligasi korporasi biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan surat berharga negara, otomatis imbal hasil dari produk reksa dana terproteksi berbasis obligasi korporasi akan lebih menarik.
“Saya rasa investor masih butuh juga [kupon tinggi] karena kalau bergantung pada SUN itu sulit bersaing, corporate bisa jauh di atasnya,” imbuh Wawan.
Senada, beberapa waktu sebelumnya Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Salyadi Saputra mengatakan bahwa reksa dana masih menjadi investor terbesar untuk obligasi korporasi.
Menurutnya, meski porsi surat utang negara (SUN) masih lebih besar menjadi underlying asset reksa dana, obligasi korporasi menjadi salah satu pilihan karena memiliki imbal hasil yang lebih tinggi.
Adapun, seiring dengan penurunan suku bunga acuan yang berbuntut pada turunnya suku bunga deposito, reksa dana bakal menjadi opsi bagi para investor untuk melabuhkan dana investasinya.
“Jadi reksa dana kita selalu berharap punya kontribusi yang terus meningat di pasar obligasi korporasi ini,” ujarnya.