Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa korporasi di China sudah mengajukan gagal bayar utang atau default. Kemampuan bayar utang dari korporasi China belum menunjukkan perbaikan, bahkan cenderung kian melemah.
Dikutip dari Bloomberg, Beijing Sound Environmental Engineering Co. menjadi perusahaan pertama di China yang gagal membayar utangnya karena alasan likuiditas.
Sejatinya, permasalahan gagal bayar obligasi yang meningkat sudah diprediksi oleh Lembaga pemeringkat Moody’s Investment Service. Bahkan, Moody’s memprediksi risiko gagal bayar obligasi di Asia Pasifik meningkat.
Dalam publikasi pada akhir April 2020 disebutkan bahwa berdasarkan Moody’s Credit Transition Model, tingkat gagal bayar perusahaan nonfinansial dengan yang memberikan imbal hasil tinggi (high yield) 12 bulan di Asia Pasifik berpotensi naik menjadi 6,4 persen pada akhir 2020.
Angka berdasarkan skenario baseline tersebut meningkat dari estimasi sebelumnya yakni 2,4 persen. Begitu pula jika dibandingkan dengan tingkat default pada tahun sebelumnya yakni 1,1 persen.
Lantas bagaimana dengan nasib obligasi korporasi di Indonesia?
Baca Juga
Berdasarkan data yang dihimpun melalui PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), terdapat belasan perusahaan sektor riil yang memiliki obligasi jatuh tempo pada semester II/2020. Total obligasi domestik yang akan jatuh tempo sekitar Rp12,10 triliun sepanjang Juli 2020 hingga Desember 2020.
KSEI mencatat sejumlah surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) juga akan jatuh tempo sepanjang paruh kedua tahun ini. Total MTN yang akan harus dilunasi oleh emiten di sektor riil sekitar Rp3,25 triliun hingga akhir Desember 2020.
Dengan demikian total obligasi dan MTN yang jatuh tempo pada semester II/2020 mencapai Rp15,35 triliun.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan cost of fund untuk penerbitan obligasi korporasi saat ini akan lebih tinggi dibandingkan dengan akhir 2019 atau awal 2020. Ketidakpastian akibat penyebaran pandemi Covid-19 membuat risiko menjadi lebih tinggi.
“Kondisi seperti ini bargaining investor akan lebih besar karena risiko pasar lebih tinggi,” jelasnya.
Ramdhan menyebut permintaan untuk surat utang korporasi juga terbatas. Akibatnya, beberapa korporasi harus mengurangi target emisi.
“Investor cenderung masuk ke surat berharga negara karena likuiditas lebih baik dan adanya jaminan pemerintah," imbuhnya.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan minat investor terhadap pasar obligasi masih akan meningkat di tengah volatilitas pasar.
Kasus gagal bayar memang sedikit banyak akan memberikan dampak terhadap pasar obligasi. Akan tetapi, fenomena itu menurutnya tidak serta merta menurunkan minat investor.
“Kami melihat tentunya minat obligasi masih akan banyak dan apalagi di tengah situasi volatilitas pasar yang semakin tinggi,” jelasnya.
PERINGKAT KREDIT
Nico menyebut investor tidak dapat menilai surat utang hanya dari peringkat kredit. Akan tetapi, perlu dilakukan peninjauan secara keseluruhan terhadap aspek keuangan penerbit khususnya tingkat likuiditas dan rasio solvabilitas.
“Masih banyak investor yang hanya menilai obligasi hanya dari rating saja,” imbuhnya.
Direktur Rating Pefindo Vonny Widjaja menjelaskan secara umum, Pefindo mencatat perusahaan di sektor pariwisata, transportasi dan infrastruktur, ritel dan restoran, konstruksi, properti, serta perusahaan pembiayaan khususnya micro finance rentan mengalami perubahan peringkat kredit akibat terpengaruh pandemi Covid-19.
Sebaliknya, obligor dari sektor makanan dan minuman, farmasi, serta telekomunikasi belum terkena dampak yang signifikan dari penyebaran virus corona.
Vonny mengatakan saat ini sebagian investor ada yang memilih untuk mengurangi investasi di surat utang korporasi. Pasalnya, ada kekhawatiran kinerja perusahaan akan terdampak negatif oleh Covid-19.
“Investor cenderung konservatif dengan memilih surat utang negara atau surat utang yang diterbitkan BUMN dan anak usaha BUMN. Kecenderungan investor juga lebih memilih investasi atau surat utang dengan tenor jangka pendek,” jelasnya.
Untuk menjaga kepercayaan investor, Pefindo mengharapkan emiten dapat mengusahakan pembayaran secara tepat waktu. Strategi yang dapat ditempuh dengan mencari alternatif sumber pembiayaan baik dari internal maupun eksternal.
“Bila memang ada kesulitan sebaiknya segera dilakukan langkah-langkah negosiasi atau restrukturisasi yang persetujuan atau kesepakatannya bisa dicapai sebelum surat utang jatuh tempo,” imbuhnya.