Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan harga obligasi pemerintah Indonesia di pasar sekunder diprediksi bakal terjadi pada semester II/2020. Posisi yield diyakini kembali melanjutkan penurunan setelah sempat terlempar ke level 8,30 persen akibat kekhawatiran dampak penyebaran Covid-19.
Harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun bergerak fluktuatif sepanjang semester I/2020. Posisi yield sempat menyentuh level terendahnya di kisaran 6,495 persen pada 18 Februari 2020.
Namun, harga obligasi pemerintah seri acuan itu harus rontok ketika penularan Covid-19 mulai terjadi di dalam negeri pada Maret 2020. Tingkat imbal hasil harus naik ke level 8,308 persen pada 24 Maret 2020.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan investor domestik dan asing tengah gencar mengoleksi SUN Indonesia pada awal tahun, sehingga yield berada di kisaran 6,4 persen. Kondisi itu dipicu oleh daya tahan obligasi pemerintah yang baik pada periode 2019.
Akan tetapi, lanjut dia, asing berbondong-bondong keluar dari pasar setelah pandemi Covid-19 memunculkan ketidakpastian baik untuk domestik maupun global. Akibatnya, yield SUN tenor 10 tahun bergerak ke level 8,3 persen.
Untuk semester II/2020, Ramdhan memprediksi pasar akan sangat dinamis. Belum meredanya penyebaran Covid-19 menurutnya menjadi penghambat penurunan yield.
Baca Juga
Dia menilai dana asing mulai masuk secara bertahap meski belum sebesar outflow pada Maret 202—April 2020. Namun, investor domestik cukup kuat menampung instrumen yang dilepas oleh investor asing.
“Menurut saya yield SUN Indonesia tenor 10 tahun akan bergerak di sekitar 7 persen pada semester II/2020,” jelasnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Ramdhan menambahkan penurunan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan membuat pasar SUN Indonesia menjadi lebih menarik. Penurunan suku bunga juga bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana memproyeksikan yield SUN Indonesia tenor 10 tahun akan menurun pada semester II/2020. Optimisme itu menurutnya sejalan dengan sejumlah faktor.
Fikri menjelaskan bahwa dua faktor utama pendorong penurunan yield yakni kebijakan ultra loose monetary policy berbagai bank sentral dan kebijaan fiskal ekspansif berbagai negara. Selain itu, besarnya potensi capital inflow akan menjadi pendorong likuiditas sehingga menekan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah.
“Nilai [yield] hingga akhir tahun semoga antara 6,5 persen hingga 6,9 persen,” ujarnya.
Sementara itu, Executive Vice President Head of Wealth Management & Premier Banking Commonwealth Bank Ivan Jaya menilai pasar obligasi saat ini mendapat dukungan dari pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral. Penurunan BI7DRR telah mencapai sebanyak 75 bps sepanjang tahun ini.
Ivan mengatakan yield obligasi masih berpotensi mengalami penurunan pada sisa periode 2020 dengan dorongan beberapa faktor. Salah satunya yakni Bank Indonesia (BI) yang masih akan menerapkan kebijakan moneter suportif.
Dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI terakhir, lanjut dia, bank sentral menyatakan masih memiliki ruang untuk melakukan pemotongan suku bunga lebih lanjut. Selain itu, BI juga bertindak sebagai buyer of last resort yang akan menopang pasar obligasi baik di pasar sekunder maupun primer jika minat investor berkurang.
Selanjutnya, dia mengungkapkan kebijakan quantitative easing di developed market berpotensi menimbulkan ekses likuiditas ke emerging market untuk mencari yield tinggi. Indonesia merupakan sasaran yang atraktif dengan tingkat inflasi stabil rendah di kisaran 3 persen.
“Untuk mencapai yield yang lebih rendah, pasar obligasi membutuhkan aliran dana dari investor asing yang meskipun sudah terlihat adanya aliran dana masuk dari pertengahan April 2020 walaupun secara tahun kalender berjalan investor asing masih terhitung keluar dari pasar obligasi Indonesia,” paparnya.
Ivan menyebut investor dapat memanfaatkan potensi penurunan yield dengan berinvestasi di instrumen obligasi langsung seperti seri obligasi negara (SBN) ritel maupun fixed rate (FR). Selain itu, reksa dana pendapatan tetap juga dapat dipilih sebagai pilihan investasi berbasis obligasi.
Pihaknya merekomendasikan untuk menambah porsi obligasi di dalam portofolio dengan tetap memperhatikan profil risiko masing-masing individu. Penambahan porsi obligasi bertujuan untuk memanfaatkan potensi penurunan yield ke depan dan sekaligus menurunkan tingkat volatilitas portofolio.
“Sebagai contoh untuk profil risiko balanced disarankan untuk memiliki portfolio dengan alokasi kelas aset obligasi sebanyak 40 persen lalu kelas aset saham serta pasar uang masing-masing 25 persen dan 35 persen,” imbuhnya.