Bisnis.com, JAKARTA – Optimisme di pasar modal Indonesia mulai tumbuh sejalan dengan pemulihan perekonomian di regional dan global dari tekanan akibat pandemi virus Corona.
Aset domestik terutama rupiah dan obligasi, yang menjadi aset paling terdampak oleh aksi jual pada kuartal pertama tahun 2020, kini perlahan mulai pulih pada kuartal kedua.
Sempat anjlok hingga level terendah sejak tahun 1997 ke level Rp16.575 per dolar AS pada Maret 2020, rupiah perlahan pulih dan kini mencapai level Rp14.245 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (29/6/2020).
Ekonom Bank DBS Radhika Rao mengingatkan bahwa penguatan rupiah akan membuatnya rentan terhadap pembelian saham yang telah mencapai titik support dalam jangka pendek.
Selain itu, kondisi global yang tidak menentu juga tidak memberikan dorongan berarti terhadap rupiah.
Sementara itu, imbal hasil obligasi 10 tahun juga menguat, didorong oleh dukungan aktif bank sentral, meningkatnya permintaan dari perbankan, serta kembalinya investor asing secara bertahap.
Baca Juga
“Ada kemungkinan gejolak di pasar obligasi. Namun, jaminan BI yang secara aktif melakukan intervensi di pasar primer dan sekunder diperkirakan akan mencegah fluktuasi imbal hasil obligasi dan nilai tukar rupiah,” ungkap Rao dalam risetnya yang diterima Bisnis.com.
Perlambatan Belum Selesai
Kendati ada pemulihan, laju perlambatan ekonomi diperkirakan belum selesai. PDB pada kuartal I/2020 menunjukkan awal yang lesu untuk tahun 2020, dengan pertumbuhan melambat menjadi 3 persen yoy, pertumbuhan terlemah sejak akhir 2001 dan lebih dalam dari perlambatan akibat krisis keuangan global.
Lebih banyak indikator ekonomi seperti ekspor, penjualan ritel, indeks kepercayaan konsumen, indeks PMI, impor barang modal, dan lainnya cenderung lebih melemah pada bulan April dan kemungkinan akan berlanjut pada Mei.
“Dengan demikian, penurunan pada kuartal kedua kemungkinan akan lebih dalam sebelum rebound pada semester kedua tahun ini,” kata Rao.
Untuk menekan dampak dari perlambatan ekonomi ini, pemerintah terus memberikan stimulus fiskal untuk memberikan bantuan ekonomi melalui subsidi biaya perawatan kesehatan lebih tinggi, perluasan cakupan skema kesejahteraan, keringanan pajak, dll.
Selain dua paket fiskal pertama senilai Rp33,2 triliun, pemerintah telah menganggarkan paket stimulus tambahan sebesar Rp405 triliun yang hingga saat ini telah diperluas menjadi Rp677,2 triliun.
Dengan stimulus ini, Bank DBS merevisi target defisit menjadi minus 6,34 persen dari PDB dari -3 persen dari PDB pada tahun 2019.
Revisi yang lebih rendah terhadap proyeksi resmi pemerintah sebesar 2,3 persen (-0,4 persen dalam kemungkinan terburuk) diperkirakan membutuhkan dorongan siklus fiskal penyeimbang yang sekaligus akan semakin memperlebar defisit.
Rao mengungkapkan dengan kemungkinan lebih banyak obligasi diterbitkan, investor lokal memberikan dukungan terhadap pasar surat utang berdenominasi rupiah saat investor asing memangkas kepemilikannya.
Perubahan kepemilikan surat berharga pemerintah yang diterbitkan Mei 2019 dan Januari 2020 menunjukkan bahwa bank-bank dalam negeri meningkatkan kepemilikan mereka, diikuti oleh BI dan lembaga-lembaga non-bank (kecuali investor portofolio). Pembelian oleh BI di pasar primer telah mencapai Rp26 triliun sejak awal tahun hingga saat ini.
Harapan dari Faktor Eksternal
Di tengah tekanan, neraca transaksi berjalan diperkirakan akan memberikan secercah harapan. Sementara itu, perlambatan ekspor kemungkinan diiringi dengan pelemahan impor, sehingga tetap memperkuat neraca perdagangan.
Dengan ini, neraca transaksi berjalan diperkirakan mencapai -1,5 persen dari PDB. Neraca dasar pembayaran (investasi asing langsung ditambah neraca transaksi berjalan) kemungkinan akan tetap mencatat surplus kecil.
Sementara itu, cadangan devisa telah beranjak dari titik terendahnya dan membantu meningkatkan cadangan untuk menutupi biaya impor yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat cadangan saat guncangan yang ditimbulkan oleh taper tantrum (efek pengumuman kebijakan moneter AS) pada 2013.